Kita mungkin pernah mendengar berita seorang artis yang menggugat seseorang terkait pembajakan suatu karya. Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham), sepanjang tahun 2019 mencatat pelanggaran merek sebagai hal yang paling banyak diadukan. Jumlah aduan yang masuk ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham adalah pelanggaran merek 39 aduan, pelanggaran hak cipta 7 aduan, paten 2 aduan, dan desain industri 4 aduan.
Pembajakan di definisikan sebagai bentuk penggandaan ciptaan atau produk secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan guna memperoleh keuntungan ekonomi.
Akhir Januari lalu, gugatan senilai 9,5 milyar dari pihak Nagaswara dilayangkan pada keluarga Gen halilintar terkait pelanggaran hak cipta lagu yang selama ini dipopulerkan Siti Badriah. Keluarga Gen Halilintar digugat Nagaswara atas tuduhan pelanggaran mengover lagu tanpa izin dan mengubah lirik.
Jauh sebelum itu, kita tahu banyak sekali pembajakan-pembajakan buku yang dengan tanpa izin menggandakan buku lalu dipasarkan. Bahkan, Andrea Hirata penulis novel Laskar Pelangi pernah mengatakan, industri buku adalah industri yang paling buat sakit hati. Bagaimana tidak, bukunya pernah dibajak empat kali lipat dari buku aslinya.
Maraknya kasus pembajakan sebenarnya dapat menimpa siapa saja, tidak hanya artis ataupun penulis buku best seller. Permasalahan mengenai pembajakan karya tidak akan pernah habis bahkan dapat terjadi disekitar kita.
Untuk membuktikan hal tersebut, kita bisa melihat dari beberapa toko daring yang ada di Indonesia, bisa kita temui banyak sekali buku-buku best seller hasil pembajakan yang dijual murah. Atau, pernahkah kalian melihat di tempat fotokopi terdapat buku hasil copy dari buku aslinya?
Peluang dan Ketidakmampuan
Permasalahan mengenai ciptaan semakin kompleks di era digitalisasi. Banyak faktor yang menjadi penyebab, faktor utama terletak pada peluang dan ketidakmampuan. Bisnis melihat peluang pada ketidakmampuan seseorang membeli buku original yang harganya bisa jadi dua kali lipat dari harga buku bajakan.
Sayangnya masih banyak yang menganggap pembajakan itu sebagai hal yang wajar. Dengan dalih menghindari harga mahal, orang-orang lebih memilih buku bajakan sebagai referensi dan bahan bacaan
Upaya pemerintah
Berdasarkan Siaran Pers No.07/HM/KOMINFO/01/2020 yang terbit pada Jum’at 10 Januari 2020 lalu, Kementrian Kominfo telah memblokir ribuan konten bajakan demi lindungi Hak Kekayaan Indonesia.
Dalam siaran pers tersebut tertulis, sepanjang tahun 2017 hingga 2019, tercatat ada 1745 situs dan konten dengan kategori pelanggaran HKI yang diblokir Kementrian Kominfo.
Hal tersebut membuktikan bahwa kegiatan pembajakan marak terjadi meskipun telah ada upaya dari Kemkominfo untuk memblokir ribuan konten bajakan. Keadaan ini sangat miris, karena hak cipta suatu karya merupakan salah satu bentuk perlindungan dan penghormatan atas tercipatanya karya tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran masyarakat dan juga upaya pemerintah supaya serius mengatasi permasalahan ini. Regulasi atau peraturan mengenai hak cipta telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta. Namun, dalam kenyatannya, menegakkan suatu upaya hukum dalam bentuk keadilan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Pembajakan suatu karya merupakan suatu hal yang mencederai hak kekayaan intelektual seseorang. Pencipta yang telah mengorbankan waktu, tenaga dan pikirannya harus dipusingkan lagi mengenai perlindungan terhadap karya yang diciptakannya. Memang telah ada peraturan terkait, tetapi kejahatan mengenai pembajakan sudah sepatutnya tidak dilakukan. Kalau sudah begini, siapa yang patut disalahkan?
Penulis: Eva Nur Yuliana