
Pagi terdengar riuh, setiap kali hari jatuh pada 21 April. Perempuan-perempuan yang masih berada di sekolah dasar, pagi sekali telah duduk manis di bangku para perias. Mereka tenang, membiarkan wajah alaminya terpoles dengan berbagai bedak yang bertumpuk-tumpuk. Pipi dan bibir mereka menjadi merah. Belum lagi rambut yang disanggul dan badan yang terbalut jarit serta kebaya, membuat wajah kusam mereka saat bermain seketika hilang.
Ya, itu adalah sepenggal acara yang diadakan pada peringatan hari Kartini. Semacam “kontes kecantikan”. Mungkin, sebab ini pula, penjualan kosmetik di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, pada 2016 penjualan kosmetik dalam negeri mencapai Rp 36 triliun, meningkat lebih dari dua kali lipatnya dibandingkan tahun 2015 yang sebesar Rp 14 triliun. Sejak kecil, anak perempuan sudah didik untuk berias.
Namun akhir-akhir ini, banyak kritik yang dialamatkan pada pihak-pihak yang menyelenggarakan peringatan hari Kartini semacam itu. Bukan kritik yang tidak berdasar memang. Mereka tidak salah, ajaran besar Kartini memang tidak untuk berhias apalagi memakai gincu. Kartini adalah seorang pemikir.
Seperti yang disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja”. Kartini adalah pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern. Dia menjadi pembaca setia surat kabar terbitan Semarang, De Locomotief dan majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Kartini adalah pengguna teknologi komunikasi pada zamannya. Selain sebagai pembaca ulung, Kartini juga tak segan berinteraksi dengan berbagai pihak untuk berdiskusi dan bertukar pikiran tentang berbagai hal. Dia mengirim surat kepada para sahabat penanya, tentang kebudayaan, kehidupan perempuan, pendidikan, dan juga agama.
Namun dimana Kartini itu sekarang?
Kartini yang dulu memperjuangkan kebebasan pendidikan dan ruang sosial bagi wanita, kini hampir hanya tinggal cerita.
Penulis melihat bahwa perempuan-perempuan di Indonesia sekarang terbagi menjadi 2, perempuan-perempuan dengan status pendidikan tinggi dan perempuan-perempuan yang tak mendapatkan kesempatan untuk mengecap itu.
Mereka, para perempuan yang memiliki kesempatan belajar di perguruan tinggi seakan-akan tinggal di menara gading. Melangit tanpa memberikan bekas kepada bumi.
Dalam rentang 5 tahun, tingkat pendidikan perempuan di Indonesia memang mengalami peningkatan. Untuk pendidikan setingkat sarjana di pedesaan saja, jumlah perempuan melampaui kaum Adam. Dari populasi masyarakat Indonesia, perempuan di pedesaan yang mengantongi ijazah sarjana pada 2015 mencapai 3,37 persen. Sedangkan laki-laki hanya 3,14 persen. Di perkotaan juga melonjak. Jika pada 2010 perempuan yang mengenyam bangku kuliah hanya 7,96 persen, tahun 2015 melonjak mencapai 10,72 persen. Walaupun masih kalah dari kaum pria yang mencapai angka 11,32 persen.
Harapannya, fakta tentang adanya perempuan-perempuan seperti di atas, dapat mengangkat derajat atau setidaknya memperjuangkan hak-hak perempuan yang masih tertindas dalam segi apapun. Namun nyatanya tidak, perempuan-perempuan dengan status pendidikan tinggi disibukkan dengan urusannya sendiri. Tanggung jawab sosial yang harusnya ada pada diri setiap individu, seakan-akan hilang dalam benak mereka.
Begitu juga dengan perempuan jenis ke dua, perempuan yang tidak mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Pagi sampai sore hari, mereka harus berkutat dengan keringat. Mendengarkan ocehan atau tidak jarang amarah dari atasan. Bagi mereka, menumpuk penghasilan di usia muda adalah tujuan utama. Boro-boro, memikirkan nasib perempuan lain. Kebutuhan keluarga pun masih berat membebani.
Ketika hampir perempuan mengalami hal semacam itu. Tiada lagi gagasan-gagasan brilliant, yang tercipta.
Lalu bagaimana dengan kelangsungan Kartini-Kartini Indonesia ke depan?
Penulis: Khalimatus Sa’diyah