
Perbedaan itu keniscayaan. Namun, hari ini ruang publik kita, seolah diisi oleh orang-orang yang mencoba melawan keniscayaan itu. Dengan cara apa pun dan bagaimana pun. Tak jarang, agama dijadikan untuk alat penghakiman bagi mereka yang tak sehaluan.
Sering saya temui, ketika membuka akun Instagram, Twitter, ataupun Facebook terdapat banyak sekali hujatan saling serang yang dilakukan warganet. Mereka berlomba-lomba menjatuhkan yang lain yang tidak sependapat. Adu argumen sering kali tercipta tanpa kontrol hingga keluar kata-kata kotor yang tidak pantas diujarkan.
Perselisihan orang-orang tersebut, lambat laun menciptakan kubu-kubu tersendiri di antara mereka yang sependapat dan yang tak sehaluan. Biasanya, setiap kubu memiliki tokoh panutan yang mereka anggap paling benar, lantas terjadilah pembelaan-pembelaan kepada tokoh tersebut yang kelewat batas. Pada akhirnya, setiap kubu mengklaim diri mereka paling benar dan tak bisa menerima kebenaran dari orang lain.
Parahnya, fonomena itu dipertontonkan oleh sebagian besar umat Islam, yang di kitab sucinya begitu menghargai perbedaan pendapat. (lihat QS Al Anfal: 46, Al An’am: 159, Al Imron: 19, Ar Rum: 31-32, Al Anbiya’: 92).
Sebenarnya, perbedaan pendapat bukanlah hal yang buruk. Namun, banyak orang yang hari ini gagal menyikapinya.
Dalam kitab Adab Al Ikhtilaf Fil Islam karangan Thaha Jabir Fayyad Al Alwani menyatakan, “Perbedaan sebagai fakta bersifat mutlak. Kesamaan dan kebersamaan adalah sebuah kemungkinan yang harus diupayakan.
Jika merunut dari ungkapan tersebut, seharusnya ikhtilaf tidak akan menjadi sebab musabab sebuah pertikaian. Perbedaan pasti ada, tetapi yang lebih penting lagi, yaitu tetap menjaga persatuan di tengah perbedaan. Konsep tersebut sama dengan filosofi bangsa Indonesia, berbeda-beda namun tetap satu.
Dalam perspektif psiko-analisa, manusia secara alamiah memiliki sifat agresif. Hal ini juga diisyaratkan oleh para Malaikat pada saat penobatan Adam (manusia) sebagai khalifah Allah, bahwa manusia punya karakter aggressor (senang menumpahkan darah).
Fonomena perselisihan dan pertikaian sesama manusia, tercipta karena kurangnya rasa menghargai dalam setiap perbedaan. Jika terlibat dalam sebuah diskusi, ia akan selalu menyerang ide orang lain yang berlawanan dengan idenya. Memaksakan apa yang diyakininya.
Sikap menang sendiri atau bisa disebut egoistis mendominasi pikirannya setiap ada perbedaan. Keegoisan tersebut tak pelak, menghadang segala kebenaran yang hendak masuk dari luar, yang mungkin saja kebenaran dari orang lain itulah yang lebih benar.
Sikap egoistis timbul karena adanya sikap fanatik berlebih dari dalam diri manusia. Sikap fanatik yang berlebih pada diri sendiri, kelompok, ataupun aliran yang diikuti, menjadikannya tak bisa berpendapat secara sehat dan objektif. Kemudian, rasa dengkilah yang menyebabkan manusia tak bisa menerima pendapat orang lain.
Untuk menghindari pertikiaian yang disebabkan hal-hal di atas, hendaknya kita, sebagai umat Islam merenungi kembali apa yang telah disampaiakan Allah dala, Alquran. Berikut terjemahan Q.S. Al-Anfal Ayat 46, Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yamng menyebabkankamu menjadi gentardan hilanglah kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Ketika menghadapi orang-orang yang tak mau mengalah. Daripada harus ikut terjebak kedalam perselisihan tersebut. Ada baiknya kita bersabar. Bersabar bukan berarti berdiam diri, namun harus cerdas menentukan strategi yang akan digunakan untuk menghadapinya.
Ketimbang harus berselisih, bukankah perbedaan pendapat ini akan memberikan manfaat tersendiri?
Penulis: Azzam Ashari