Awal Maret 2020 lalu, hubungan sejumlah ormas kembali memanas. Hal itu menyusul dibubarkan pengajian Bachtiar Natsir secara paksa di sebuah hotel di Kota Malang, Jawa Timur oleh masyarakat yang mengatasnamakan dari Arek Malang. Pengajian dianggap, tak mengantongi izin dan memberi pemberitahuan terhadap warga sekitar.
Selain itu, sejumlah masyarakat beralasan tak mau wilayah termasuki paham atau ormas yang dianggap radikal. Masyarakat melihat, track record Bachtiar Nashir lebih dekat ke gerakan kanan yang berafiliasi dengan HTI.
Fenomena penolakan terhadap sejumlah pengajian oleh tokoh agama memang terlampau sering terjadi Indonesia. Sebelumnya, Kejadian serupa juga terjadi di Yogyakarta. Pimpinan Daerah Muhammadiyah kota Yogyakarta menolak Pengajian Harlah NU ke-94 yang akan digelar di Masjid Gedhe Kauman. Penyebabnya hanya dikarenakan mengundang Gus Muwafiq sebagai salah satu penceramahnya yang dianggap bermasalah.
Menunggu Sikap Pemerintah
Sampai saat ini, dengan berbagai gejala yang ada di tengah masyarakat pemerintah seolah hanya diam. Keamananan negara, dalam hal ini TNI-Polri terkesan hanya mendukung kelompok yang lebih kuat di suatu wilayah.
Pada persoalan Bachtiar Nasir, selama ini pemerintah tak pernah mengambil tindakan tegas. Ini pula berlaku bagi sejumlah penceramah yang kemudian ditolak mengisi pengajian lantaran diduga ada kaiatnnya dengan organisasi terlarang HTI, sebut saja misalnya Felix Siauw, UAS, dan Ustaz Hanan Attaki.
Pemerintah tak kunjung memastikan apakah dugaan yang ada dimasyarakat tersebut benar atau tidak. Sehingga, seolah ada pembiaran dari pemerintaha soal konflik horizontal yang terus terjadi.
Tak hanya itu, sebetulnya sikap masyarakat yang main sikat harus diakui sebagai sifat kekanak-kanakan dalam tubuh ormas mana pun. Baik dari sisi penolak penagajian Gus Muwafiq mauapun penolak pengajian Bachtiar Nasir dkk.
Jika kondisi demikian terus dibiarkan, konflik hanya akan menunggu kepersoalan yang lebih besar.
Berkaca Dari Gandhi
Masyarakat kadang susah untuk dipahami, karena hakikatnya sudah sifat alami manusia yang tidak bisa ditebak dan berubah-ubah. Sikap tersebut dipengaruhi beberapa faktor, khususnya faktor lingkungan sekitarnya.
Tentunya kita yang termasuk di dalam kelompok tersebut harus banyak belajar bagaimana cara bersikap yang baik antar golongan, kelompok, maupun suku dan ras manapun. Mahatma Gandhi (1947) mengajarkan hakikatnya merupakan gerakan perlawanan dengan cara yang damai dan anti kekerasan. Gandhi percaya sepenuhnya bahwa seluruh agama yang ada di dunia ini mengajarkan perdamaian. Jika masih ada kekerasan antar umat beragama itu disebabkan karena belum pahamnya orang tersebut mengenai konsep agama yang sebenaranya.
Dalam senbuah konflik, Ia menekankan masyarakat untuk memanadang dengan cinta kasih terlebih dahulu. Meskipun itu, belum tentu menyelesaiakn masalaha namuan panadangan awal tersebut akan mencegah masyarakat dari sifat seaksioner, dan gegabah.
Jika memang belum bisa menghargai karena perbedaan antar golongan, adakalanya kita perlu sadar bahwa mereka juga manusia dan warga Negara Indonesia yang memanusiakan manusia. Persatuan dijadikan tujuan agar nilai-nilai demokrasi mampu berdiri tegak di Negara yang terdiri dari berbagai elemen ini. Bukan hanya demokrasi saja, namun juga nilai toleransi antar manusia.
Penulis: Mohammad Hasib