Di hari ini udara terasa sangat pengap, kebencian jauh lebih besar dari pada cinta. Dunia menjadi sesuatu yang kita prihatinkan, bukan dinikmati. Saling curiga, permusuhan, dan berbagai berita mengenai pembunuhan adalah tragedi yang kini kita lihat dan dengar sehari-hari. Konflik Azerbaijan-Armenia, perang di Suriah sampai krisis di Semenanjung Korea seolah mereprensatasikan, dunia ini bergerak menjauh dari nilai kemanusiaan.
Mustinya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang paling bertanggung jawab terhadap memanasnya politik global. Namun, jauh dari peranan; yang dapat dilakukan PBB kini hanya dapat mengecam dan moderator pertikaian yang rapuh. Resolusi PBB untuk mengakhiri konflik di berbagai negara yang terlibat itu seolah melempem.
Sehingga yang terjadi adalah, negara-negara besar dunia, seperti Amerika Serikat, China, maupun Rusia melakukan suatu semaunya untuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Peristiwa ini seolah menegaskan bahwa, ramalan Samuel P. Huntington belum juga terjadi. Konflik masih tetap didasarkan pada politik dan ekonomi, bukan agama dan budaya.
Kondisi Indonesia, agaknya lebih beruntung ketimbang negara lainnya. Konflik yang terjadi di negara ini hanya perkutat pada epistemologis, bukan pada tataran aksi, tragedi kemanusiaan. Tidak seperti di Timur Tengah yang telah pecah perang saudara. Atau, konflik di Semenanjung Korea, yang siap ‘meledak’ kapan saja.
Meskipun begitu, rakyat Indonesia tak seharusnya apatis terhadap memanasnya keadaan global. Walupun dunia sekarang telah terdikotomi oleh batas-batas negara. Masih ada satu kesamaan dan satu identitas yang menyatukan bahwa kita adalah sama-sama manusia. bersaudara atas identitas tersebut, dari manapun negaranya dan apapun agama, suku, ras dan golongannya.
Mungkin kita sejenak harus mengingat kembali mimpi seorang aktivis era 60 an, Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran (1989). Ia yang memimpi tentang sebuah dunia tanpa perang, bebas dari kebencian, dan pembunuhan atas nama dan alasan apa pun. Memimpikan dunia tempat manusia hanya sibuk memikirkan pembangunan – pembangunan dunia yang lebih baik.
Mahatma Gandhi pernah bersemboyan “my nasionalism is humanity”. Yang juga bisa ditafsiri, jadiah manusia tanpa batas. Tidak terikat oleh wilayah atau negara. Tegakkan nilai kemanusiaan dimanapun kita berada.
Agaknya mimpi ini telah kabur dalam pandangan dunia. Cinta kemanusia telah menjadi mitos masyarakat modern yang cenderung matrealis. Bukan menjadi sebuah cita bersama yang harus digapai. Apesnya, saat kita menantikan sosok seperti Mahatma Gandhi, yang muncul malah Donal Trump. Tragis!!!
Jika negara-negara besar—yang seharusnya dapat menyelesaikan tragedi ini—tidak memiliki nilai kemanusian. Namun, bertindak sesuai kepentingannya masing-masing. Tragedi ini tidak akan pernah usai. Dan mengakar digenesai setelahnya. Yang terjadi adalah, penerus kita nanti akan hidup dalam bahaya. Ledakan dimana-mana. Lalu mereka akan mengutuk generasi hari ini, yang telah mewariskan dendam dan permusuhan. Suatu hal, yang patut menjadi pertimbangan.
*Artikel pernah dimuat di Harian Sinar Indonesia (Sindo) pada 2017.