
Nasihat itu menenangkan. Meskipun ia kadang bukan jawaban atas persoalan. Nasihat memberikan opsi untuk dipilih. Pertimbangannya berdasarkan kebaikan, dan membuat seseorang menjadi bijaksana dalam mengambil keputusan.
Namun, nasihat tak selamanya begitu ternyata. Nasihat mulai menemukan sebuah bentuk baru yang menjauh dari logika. Opsi yang diberikan hanya satu dan itu tak bisa diterima nalar. Bagiamana bisa?
Contoh nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama kini misalnya, nasihat yang menganjurkan untuk menikah muda. La Ode Munafar penggagas gerakan tersebut menganggap, menikah muda adalah solusi untuk ‘menumpas’ fenomena pacaran yang di kalangan anak muda. Ia menamai komunitas itu sebagai Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran dan Gerakan Nikah Muda. Bahkan juga menerbitkan buku dengan judul, Berani Nikah Takut Pacaran.
Mungkin si pengagas gerakan tersebut menganggap pacaran adalah sebuah bentuk kedzoliman. Tapi, kini, apa yang disebut sebagai kedzoliman begitu ambigu.
Jika kita benturkan dengan semangat perjuang emansipator dari kalangan wanita misalnya, tentu konsep yang dibawa oleh La Ode agaknya berat untuk diterima. Bangsa ini, bahkan dunia mempunyai sejarah panjang terkait hal tersebut. R.A Kartini dalam Novel Pramudiyah misalnya digambarkan dibungkam dengan pernikahan di tengah peletikan pemikiran-pemikirannya kala itu oleh kolonial. Dengan menikah, wanita akan sibuk mengurus suami dan keluarganya, di penjara bernama rumah. Tak selalu demikian tentu. Namun beberapa kasus membetulkan asumsi tersebut.
Imam An-Nawawy menguraikan penjelasan tentang nasihat untuk kaum muslim sebagai berikut,
“Nasihat memberikan petunjuk kepada mereka terhadap hal-hal yang membawa kebaikan dalam perkara duniawi dan ukhrawi. Tidak menyakiti mereka. Mengajari hal-hal agama yang belum mereka ketahui. Membantu mereka dengan perkataan dan perbuatan. Menutupi aurat dan kekurangan mereka. Melindungi mereka dari marabahaya, serta berusaha mendatangkan manfaat..” (Syarh Shahih Muslim I/239)
Jika kita merujuk pada penjelasan nasihat dari Imam An-Nawawy, nasihat-nasihat seperti diatas bukan tergolong sebagai nasihat. Karena mereka hanya menyerang sisi ukhrowi tanpa menghiraukan sisi duniawi. Tidak jarang juga, nasihat-nasihat semacam itu hanya menyasar “bagaimana cara mendapat pahala” tanpa berpikir banyak marabahaya yang ditimbulkan dari nasihat-nasihat itu.
Dunia adalah ladangnya akhirat, bagaimana kita bisa mendapat buah ketika kita tidak pernah menanamnya.
Penulis: Khalimatus Sa’diyah