
Rambutnya yang mulai menggimbal, jadi sasaran empuk dari ratusan atau mungkin ribuan kutu. Jika aku mengetuk pintunya pelan. Ia malah menggedor-gedor dan membukanya dengan wajah seperti iblis kelaparan hendak memangsa diriku. Jangan tanya matanya, pandanganya yang selama ini teduh penuh kasih, kini terlihat kelam dan hitam. Tak jarang aku lari terbirit-birit ketakutan saat mengantarkan makanan.
Polisi, polisi, dan polisi. Sebuah kata yang selalu deras mengucur dari mulutya. Aku ingin memecahkan algoritma itu. Namun yang membuat soal malah mengunci rapat bibirnya. Adikku Kenya telah menguncinya. Dia yang membuat soal, tapi dia sendiri yang harus menggila karenanya.
*****
Kertas yang tak lagi utuh selalu memenuhi lantai kamarnya. Tidak jarang di badannya menempel sobekan kertas itu. Jika sudah tergilas saat tidur, kertas itu tak ubahnya seperti bubur. Tiada hari tanpa sobekan kertas baginya.
Aku sudah memanggil dokter jiwa untuk menangani adikku. Bahkan dukunpun kupanggil. Aku mengikuti perintah dukun itu dengan menaruh telur bebek serta dua lonjor lidah buaya di kolong ranjang Kenya. Namun semua itu nihil tiada hasil. Kenya masih sama, dia mengucapkan kata-kata yang tidak jelas runtutannya. Dia mulai melukaiku, saat aku menyuruhnya untuk diam, sobekan kertas di kamarnya semakin banyak. Sementara itu, buku-buku di perpustakaan pribadiku semakin banyak menghilang.
Melihatnya seperti sekarang, aku sempat berpikir untuk meninggalkan Kenya. Miris tak tega untuk memasungnya. Sebagai saudara aku hanya bisa mencoba menenangkan dan membujuknya agar bercerita mengapa dia begitu. Dengan keterangan dari Kenya setidaknya aku akan tahu langkah apa yang seharusnya kulakukan.
Perlahan aku memasuki kamarnya. Kubuka lirih pintu itu, mencoba dengan keras agar tiada suara yang aku hasilkan. Desah nafasku bahkan kuminta agar tidak berisik. Kenya tertidur, dia lelah setelah seharian berteriak-teriak. Aku duduk dibawah ranjangnya, memandangnya lamat. Aku merasa sakit dan sesak yang luar biasa di dada. Ku raih foto ibuku yang terpajang di meja samping ranjang. Batinku tercabik. Masih ingatkah dia dengan ibu? Denganku saja dia sudah lupa. Hanya keajaiban jika ia mengingat ibu yang telah meninggal
“Kenya, aku merindukan kamu yang dulu. Gadis yang ceria, ramah dan sopan. Ceritalah kepadaku. Mungkin aku bisa membantumu”.
Niatku goyah. Semula aku tidak ingin bersuara. Tapi rentetan kejadian dan kenangan ini merubahnya. Aku mulai terisak.
“Aku lelah Tuhan” ucapku dengan basah yang kurasakan pada pipiku.
Dari atas ranjang, aku merasa melihat sosok yang bergerak. Aku yang semula menunduk menangis memeluk foto ibu. Mulai mendongakkan kepalaku ke atas. Kenya terbangun. Dia melihatku. Tapi ekspresinya datar. Wajahku yang sembab, dan mataku yang memerah tidak lagi mampu menggerakkan hatinya. Dia lama menatapku. Tubuhku bergidik. Aku takut dengan tatapan kelam itu.
Tiba-tiba dia merenggut foto yang kudekap. Foto ibu. Kenya menatap foto itu lama. Terlihat seperti orang berpikir. Lama sekali. Akupun hanya diam. Aku masih bergidik namun aku pun ingin bicara. Aku terheran, masih duduk di atas kasurnya dengan memandangi foto ibu. Ia tersenyum dan mulai bercerita. Nada-nada suaranya sudah normal. Sayang aku tidak begitu memahaminya. Spontan, aku memberinya minum. Suarannya kembali lembut dan normal dalam bercerita.
***
Seperti ini Kenya bercerita
Bulan Januari, saat itu sedang ada demo besar-besaran di alun-alun kota untuk menurunkan Gubernur di kota kami yang korup dan otoriter. Kemacetan terjadi dimana-mana. Aku coba melihat keadaan. Tahu sendiri bagaimana kebosananku ketika terjebak di dalam lautan kendaraan. Aku merayu Alfiyan untuk turun dari motor dan melihat demo lebih dekat.
Kujinjitkan kakiku, perasaanku terselimuti rasa penasaran terhadap demo itu semakin besar. sorotan mataku merekam mahasiswa sedang berteriak menyanyikan lagu buruh tani. Dengan membakar ban dan mengata-ngatai gubernur. Langkah kaki berjalan menuju tempat demo. Begitu kompak suara teriakan yang menggema “Turunkan Sukamto”. Tangan kami tetap berpegangan erat. Tampaknya Gubernur enggan keluar dengan kantornya. Padahal demo itu sedari kemarin. Tak lama kemudian tentara dan polisi turun, namun masih tak bersama Gubernur itu. dor! Suara tembakan diudara. Tetap dengan megaphonenya mahasiswa pemimpin demo itu mengatakan jika Gubernur itu banci, inilah dan itulah. Mahasiswa akan lega jika Gubernur itu turun langsung dan menyatakan dirinya mengundurkan diri. Mungkin itu alasan mahasiswa untuk berhenti berdemo dan tak melawan tentara dan polisi.
Gabungan pengaman negara itu menyemprotkan gas airmata. Terdiam selama setengah jam. Lalu mahasiswa gelombang 2 justru menyerang polisi-dan tentara menggunakan senjata tajam dan benda milik aparatur negara. Bentrok tidak bisa dihindarkan, kumpulan mahasiswa itu kini telah dibalik oleh aparat negara. Mereka ada yang berlari untuk menyelamatkan diri ada yang pura-pura jatuh atau mati agar tak dipukuli. Darah berceceran dimana-mana. Baju dan jas mereka berlumur darah. Mereka menyaksikan dari kejauhan begitu ketakutan dan merinding.Ya, ada yang berlari untuk melarikan diri.
Tiba-tiba ada segerombolan pendemo berlari kearahku. Mereka di koyak-koyak tentara. Aku tercengang dan melongo. Mereka berlari tanpa permisi. Tanganku dan Alfiyan yang semula bergandengan kini terpisah. Mereka menabrak tangan kami. Tiada kesiapan untuk membalikan badan atau memutar kearah mata angin untuk menghindari kericuhan ini. Kecengangan ini tersentak saat tentara tersebut menyergap Alfiyan. Mereka menyangka Alfiyan ikut berdemo. Dengan kasar mereka memborgol tangannya. Tangan mereka mendorong bahu Alfiyan untuk bergerak kearah selatan. Aku pun mengikutinya. Sampai di belakang gedung, ia melihat jajaran pendemo yang muntah darah tidur berentetan tanpa nyawa. Sedangkan Alfiyan didudukan di sebuah kursi. Tentara itu mengikat kaki Alfiyan. Lalu mereka mengintrogasi Alfiyan, yang tak bisa Kenya jelaskan apa yang mereka ucapkan. Tahu-tahu mereka menampar Afiyan. Hingga berkali-kali secara bergantian oleh tentara-tentara tersebut. Jika bosan menampar mereka mendopak wajah afiyan hingga ia terbanting. Matanya terbelalak kearahku. Sorotanya mengisyaratkan untuk menyuruhku meninggalkan tempat itu. salah satu dari mereka menginjak perut Alfiyan. Ada sebagian mereka menyayat-nyayat kulit kaki dan tangan Alfiyan. Lalu membiarkan Alfiyan menangis bahkan menjerit kesakitan.
Pada bibir mereka melontarkan pertanyaan yang tak jelas lagi. Alfiyan berteriak dan mengatakan “Aku tidak ikut serta. Bunuh saja aku dari pada aku mengiyakan tuduhanmu dan mendekam dipenjara”. Mereka semakin jengkel dengan jawaban Alfiyan. Salah satu mereka mengeluarkan pistol dan menembak dada Alfiyan. Ia sempat menoleh ke arahku untuk memberikan senyumannya. Mungkin Racun dalam peluru itu melumpuhkan saraf-saraf lalu tubuh Alfiyan kaku membatu. Mulutku terbungkam tak berkata apapun. Kakinya menggigil menuju aliran tangan hingga bibir.
******
Memorinya masih muat menampung Januari sebagai narasi kekejaman itu. Masih terekam semua. Terutama saat aparat keparat itu menendang kaki dan badan Alfiyan untuk sekedar mengecek apakah Alfiyan masih hidup atau mati. Setelah mereka yakin nyawa Alfiyan melayang, mereka pergi meninggalkan dia yang terkapar. Bibir Kenya meronta dan bergetar. Ia lontarkan kata-kata kotor kepada mereka. Namun mereka hanya menertawai Kenya.
“Hahaha mayat kok ditangisi, mana mungkin bangun. Hey… makanya jangan menjalin hubungan dengan pemberontak!”
Kenya kembali terisak. Dia memndangku tajam dan menanyaiku tentang bagaimana dia bisa hidup tanpa Alfiyan. Tetiba ia berteriak “Akan kubunuh kalian, tunggu pembalasanku.”
Ia terus berteriak tak jelas diakhir cerita. menggenggam roknya lalu menyobeknya. Berlari-lari kian kemari. Membentakku, Ia meminta senjata tajam untuk membunuh mereka.
“Hahaha akan kubunuh mereka..? hahahahahhahah.”
Naili Istiqomah
Penulis adalah Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki
*Tulisan pernah dimuat di Buletin SKM Amanat edisi 22