Belakangan ini, kritik tajam terhadap mahasiswa semakin banyak terdengar. Kritik itu lebih mengarah kepada gugatannya terhadap karakter mahasiswa yang dinilai lemah dan tak memiliki prinsip. Mahasiswa hari ini, dianggap tak punya visi dan sejumlah agenda besar di masa depan.
“Berbanding terbalik dengan mahasiswa masa lampau,” katanya.
Justifikasi tersebut, sulit kita benarkan di satu sisi, dan berat kita sangkal di sisi lain. Karena, jika melihat fakta yang terjadi, gaya hidup mahasiswa yang mengarah ke perilaku konsumerisme dan apatisme terus meninggi.
Luffy dan generasi lemah
Penulis kemudian teringat dengan serial anime One Piece yang ditulis oleh Eichiro Oda sejak 1997 hingga hari ini. Dalam karakter utama yang digambarkan sang penulis, Monkey D. Luffy seolah menjadi representasi cita-cita seorang pemuda.
Luffy tak memiliki banyak pengalaman, tak kuat, sendiri, dan hanya memiliki sebuah semangat serta keberanian mengarungi lautan. Alasan kuat yang mendorong dirinya bergerak yakni, cita-citanya menjadi seorang raja bajak laut di dunia One Piece.
Pulau demi pulau, Luffy singgahi. Sejumlah pengalaman, teman, dan kematangan mental kemudian terus tumbuh dalam setiap perjalanannya. Luffy dengan visi dan agenda besarnya seolah menjadi antitesa terhadap mahasiswa hari ini, yang hanya disibukkan dengan pencarian identitas yang remeh.
Luffy adalah cita-cita mahasiswa sejati. Dalam sejarahnya, kata mahasiswa telah menggantikan sebutan pemuda sebagai unsur penting dalam gerakan sosial kemasyarakatan. Mahasiswa kemudian disandangkan dengan banyak predikat membanggakan atas prestasi yang pernah ditorehkan dalam sejarah kehidupan bangsa.
Sebut saja misalnya, mahasiswa sang penjaga nilai (guide of value), agen sosial dan agen control, iron stock, dan agen perubahan. Dalam setiap predikat yang disandangkan tersebut, terdapat tanggung jawab yang tak bisa dilupakan meskipun tak pernah diminta.
Masuk ke relung kegelisahan
Problem yang sering menimpa mahasiswa hari ini yakni, suka berada di zona nyaman. Sementara, hidup seolah hanya cukup dengan rutin berangkat kuliah, tanpa dibarengi dengan kesadaran peningkatan intelektualitas dan skill. Baru ketika, seorang mahasiswa duduk di semester 7, kegelisahan mulai tumbuh. Namun, bukan kegelisahan epistemis, melainkan gelisah terus meminta uang orang tua, gelisah mencari sampingan kerja, gelisah seusai lulus akan kemana.
Pertanyaan yang sampai hari ini belum terjawab adalah mengapa kemudian, mahasiswa tak memilih keluar dari zona nyaman lebih dini, dan masuk ke ruang kegelisahan yang lebih bermakna?
Penulis: Ilham Munif