Belakangan ini, mungkin kita sering mendengar istilah merdeka belajar, sebuah program yang digagas Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
Kemendikbud menyebutkan bahwa program tersebut berhubungan dengan perubahan pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), rencana pelaksanaan pembelajaran, dan peraturan penerimaan peserta baru dengan sistem zonasi.
Keempat hal di atas dibahas demi menunjang kemerdekaan yang berhubungan dengan berbagai hal dalam pendidikan. Perubahan pada USBN dan UN dilakukan demi memperbaiki kualitas lulusan sekaligus memerdekakan siswa dari tuntutan belajar yang selama ini dikeluhkan dan dianggap menjadi sebuah beban. Sedangkan peraturan penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi diubah agar penerimaan siswa lebih teratur dan seimbang.
Namun dalam empat bahasan itu, ada satu persoalan yang sangat perlu dikaji lebih dalam, yaitu soal rasa aman saat proses belajar mengajar di sekolah. Dari waktu ke waktu, berita muram yang mencoreng dunia pendidikan di bangsa kita terus terdengar semakin keras sehingga menarik perhatian publik.
Pada awal tahun 2020 lalu, berita tentang seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terjun dari lantai 4 sekolahnya, lalu meninggal dunia. sampai hari ini belum jelas dan pasti apa motif sebenarnya, tapi dugaan kuat ia bunuh diri karena masalah didalam keluarganya.
Tak hanya itu, belum lama ini muncul sebuah kasus yang mencengangkan banyak orang, ketika seorang siswa SMP menjadi tersangka pembunuhan berencana pada anak berusia 5 tahun, kalau sudah begini siapa yang harus kita salahkan? Miris.
Peran pendidik
Maka dari itu pengembangan kepedulian pendidik pada kondisi psikologis anak didik, juga pengetahuan tentang kondisi keluarganya juga sangat penting, itu bukan hanya tugas dari guru bimbingan konseling, melainkan semua guru, dan terutama wali kelas nya.
Salah satu perubahan yang digagas oleh kemendikbud diharapkan bisa menjadi solusi, dan mengurangi kasus demi kasus kekerasan yang telah terjadi di dunia pendidikan bangsa kita.
Yang perlu diingat adalah jangan sampai kita membuat sebuah perubahan hanya karena alasan agar tidak tertinggal dari bangsa lain yang lebih maju dari pada bangsa kita, karena dari sejarah kita dapat belajar bahwa kecerdasan pikiran tidak selalu berbanding lurus dengan semangat menghargai martabat manusia lainnya.
Bangsa kita sedang berusaha memperbaiki pendidikan sebaik-baiknya, mencari kecocokan, dan kenyamanan, bergonta-ganti kurikulum dan kebijakan, seakan-akan kehilangan jati diri sendiri. Kita yang merasa malu melihat keinginan literasi yang rendah dan dalam segala aspek serta tolak ukur lainnya pun ikut tertinggal, namun jangan sampai kita mengupayakan segala perubahan dan kemajuan hanya karena ‘agar tidak tertinggal’ tetapi melupakan nafas utama pendidikan yaitu cinta dan kasih.
Saat ini banyak orang ingin menjadi guru karena menganggap ketika menjadi guru pasti akan meraih penghidupan yang sejahtera, tetapi semoga tidak akan lupa dengan tugas dan tanggungjawab utamanya yaitu menghidupkan pendidikan, tidak hanya menumpang hidup dari pendidikan saja.
Cinta dan kasih sayang akan lebih menghidupkan pendidikan. Ketika guru mendidik dengan cinta juga kasih sayang, niscaya peserta didik akan mendapatkan sebuah kenyamanan dan rasa aman, bukan hanya kemerdekaan yang didapatkan, melainkan juga martabat. Dan siswa dimanusiakan bukan hanya sekedar menjadi pecobaan dari sebuah perubahan kebijakan.
Penulis: Yuli Melinia