• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Advertorial
  • Kontak
Selasa, 13 Mei 2025
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Merayakan Keputusasaan

Kebijakan pemerintah menangani corona, terkesan tidak serius. Rasa kepercayaan rakyat kepada negara hilang.

Agus Salim I by Agus Salim I
4 tahun ago
in Artikel, Opini
0

Baca juga

Multitasking: Dalang di Balik Kerusakan Otak

Student Loan, antara Harapan dan Jebakan

Layakkah Soeharto Jadi Pahlawan Nasional?

Ilustrasi foto: Unsplash.com/camilo jimenez

Apa yang biasa dilakukan orang-orang ketika dalam kondisi darurat? Menelpon layanan 110 kepolisian? Menelpon layanan 118/119 ambulans? Atau menelepon layanan 113 petugas kebakaran?

Barangkali orang-orang terlalu gugup dan panik untuk memanggil layanan itu. Bisa jadi tidak sempat. Orang-orang akan sibuk mencari pertolongan pertama menghadapi kepanikan. Teman, keluarga, atau tetangga sekitar yang kita panggil.

Tapi, pertolongan pertama itu barangkali tidak ada. Selama kebijakan PPKM Darurat dan juga kebijakan-kebijakan yang lalu (maupun yang akan datang) terkait pandemi, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Kita telah terkurung dan terjebak dalam satu ruangan dan dikacaukan ilusi yang sama. Kita merasakan bagaimana kesulitan mencari sepeser rupiah. Beberapa dari kita bahkan hanya bisa memainkan sendok dan piring kosong yang saling saut.

Pikiran kita terus dibayangi oleh tawa anak dan keluarga di rumah. Tak sampai hati rasanya membayangkan tawa mereka berubah menjadi derai air mata. Bisakah kebutuhan esok hari tercukupi? Itu sebuah pertanyaan menyayat hati.

Kita benar-benar dibuat chaos oleh pandemi. Kita sama-sama berjalan dalam labirin keputusasaan. Belum genap seminggu, satu, dua, tiga, hingga empat orang dikabarkan meninggal. Katanya, terkena Covid-19. Kita bertanya-tanya, siapa gerangan pahlawan yang bisa menjadi penyelamat di tengah kekalutan seperti ini?

Jika kita pernah mendengar cerita Don Quixote de La Mancha, kita mungkin bakal ramai-ramai menyebut Alonzo Quinjano sebagai pahlawan. Bersama kuda peliharaannya yang diberi nama Rocinante, dan seorang teman bernama Sancho Panza, mereka berkelana dari desa ke desa menumpas kejahatan. Alonzo dikenal hebat dalam menumpas kejahatan. Tak ada satu pun musuh yang lolos dari genggamannya. Alonzo benar-benar menjadi pahlawan, bahkan mungkin dalam kondisi darurat sekalipun.

Kehebatan Alonzo menumpas kejahatan dikemas apik oleh Miguel de Cervantes dalam satu karya besar berjudul Don Quixote de La Mancha (1605). Buku yang disebut-sebut sebagai karya fiksi terbaik sepanjang masa itu bercerita tentang lika-liku hidup Alonzo Quinjano menjadi pahlawan. Alonzo membantu gadis-gadis yang tersika, melawan para raksasa hingga melawan ketidakadilan.

Tapi, apa jadinya jika Miguel de Cervantes justru malah mengganyang cerita Alonzo sebatas rekaan cerita dalam kepala? Akankah kita tetap menjadikan Alonzo sebagai penyelamat kita? Mungkin tidak. Kita mengetahui Miguel de Cervantes telah mempermalukan Alonzo dengan membuatnya terobsesi oleh romansa ksatria tahun 1500-an.

Alonzo yang telah membaca banyak kisah dongeng tentang ksatria, kehilangan akal sehat dan mengidap halusinasi. Kewarasan Alonzo alias Don Quixote terganggu akibat terlalu banyak membaca. Ia tak mampu mengendalikan pikiran untuk membedakan antara realita dan fantasi. Ia benar-benar pandai menghayal dan percaya bahwa dirinya adalah sosok pahlawan dalam cerita. Alonzo telah menipu kita.

Tapi tunggu. Fantasi kisah epik Alonzo benar-benar membius kita. Beberapa dari kita mungkin telah menyerupai Alonzo. Mereka berlomba menjadi pahlawan dan menawarkan solusi atas krisis yang kita alami. Di sebuah ruang virtual, orang-orang berbicara strategi. Mereka siap menjadi garda terdepan melawan krisis ini.

Di satu sisi, kita telah berjalan cukup jauh mengarungi waktu. Tapi hingga saat ini, kita tak diperlihatkan orang-orang itu berada di garda depan. Mereka seperti pahlawan kesiangan. Mereka berdiri gagah memegang tombak di medan perang. Tapi tak bisa berbuat banyak. Kita dibuat jengkel. Kita kecewa. Bahkan, kita mungkin tak akan lagi percaya pada mereka.

Pada akhirnya kita dilanda keputusasaan. Pahlawan yang kita nantikan, tak bisa berbuat banyak. Kita memutuskan meninggalkan pahlawan itu. Lalu, kembali berdiam di ruang media sosial. Di sana, kita bisa hidup bebas. Tanpa takut terkena virus. Tanpa takut anak kelaparan, dan tanpa dirundung kematian.

Media sosial adalah surga dunia bagi orang-orang yang putus asa. Kita tak perlu bekerja keras mencari sesuatu yang sulit kita dapat di dunia realita. Media sosial menawarkan seribu satu kebahagiaan. Kita bisa dengan mudah menjelajah sudut-sudut dunia. Bertemu orang-orang baru dan berkenalan banyak orang tanpa keraguan. Untuk setiap peristiwa dan keadaan, kita bisa membagikan dan mengetahuinya di sini. Kita benar-benar saling terhubung. Tanpa sekat dan diskriminasi. Kita benar-benar merayakan keputusasaan.

Sebuah perusahaan media asal Inggris, We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite dalam Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital, merilis rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 14 menit sehari untuk mengakses media sosial. Kisaran waktu tersebut menjadi kedua tertinggi di Asia, hanya di bawah Filipina yang menghabiskan 3,8 jam. Negara-negara seperti Malaysia, Thailand, India, Vietnam, dan Singapura bersinggungan dengan media sosial dalam kisaran dua jam per hari. Sementara itu, Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan sekitar satu jam per hari. Jepang menghabiskan waktu paling sedikit, yakni hanya 46 menit setiap hari.

Laporan ini cukup untuk menandakan kita lebih nyaman menikmati dunia fantasi. Pandemi memang memaksa orang mengandalkan internet. Di saat kita gelagapan mencari cara bertahan melawan gempuran pandemi, dan pahlawan itu gagal, kita memilih media sosial sebagai hunian baru. Kita mungkin berpikir itu akan menjadi cara bertahan dan membuat imun kebal. Demi menjaga kesehatan dan kenyamanan, media sosial menjadi alternatif lain di tengah kekalutan.

Tapi tunggu, nyatanya dugaan kita salah. Semakin banyak orang-orang dilanda kepanikan dan keputusasaan, mereka bakal mencari tempat perlindungan yang nyaman. Dan itu turut memicu kegaduhan media sosial semakin riuh. Di ruang-ruang yang sebelumnya tanpa virus, kini mulai muncul. Virus ketidakwarasan, virus kebencian, virus propaganda, dan sejumlah virus lain yang bahkan lebih berbahaya.

Kegaduhan yang terjadi di media sosial ini mendapat sorotan tajam dari seorang filsuf Jerman penganut Mazhab Frankfrut, Jurgen Habermas yang menyebut media sosial sebagai ruang publik. Konsep ruang publik ini membuat penggunanya bebas mengungkapkan gagasan, opini, hingga kritik secara bebas. Sayang, kebebasan yang dikatakan Habermas kini benar-benar terbebas. Tanpa sekat. Ruang yang semula nyaman itu tiba-tiba gaduh.

Seruan keputusasaan menggema di setiap sudut ruang media sosial. Kita yang dulu membangga-banggakan media sosial, kini terjebak di dalamnya. Kita berjalan dari satu pintu ke pintu lain. Namun pintu pembebasan tak kunjung menampakkan diri. Kita tak bisa keluar. Anak kecil, dewasa, hingga orang tua kompak menyanyikan keputusasaan.

Sekarang, setelah kita saling bertukar cawan untuk sebuah keputusasaan, kita tersadar. Pahlawan itu tidak benar-benar hadir untuk menolong. Ia hanya berganti kostum untuk kemudian disebut sebagai pahlawan. Percayalah, satu-satunya pahlawan adalah diri kita sendiri.*

 

Penulis: Agus Salim

*) Tulisan pernah dimuat di detik.com pada Senin (16/08/2021) dengan judul Pandemi, Pahlawan, dan (Ilusi) Media Sosial

  • 2SHARE
  • 0
  • 2
  • 0
  • 0
Tags: media sosialpandemippkm darurat
Previous Post

Patahkan Omongan Tetangga, Ratna Raih Predikat Wisudawan Terbaik FPK

Next Post

UIN Walisongo Buka Pendaftaran Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah

Agus Salim I

Agus Salim I

Bukan penulis mapan

Related Posts

Multitasking, Risiko Multitasking, Dampak Buruk Multitasking, Mahasiswa Multitasking, Pengaruh Multitasking
Artikel

Multitasking: Dalang di Balik Kerusakan Otak

by Nailatul Fitroh
5 Mei 2025
0

...

Read more
Student Loan, Pinjaman Pendidikan, Pinjaman Pendidikan Mahasiswa, Biaya Kuliah Mahasiswa, KMI

Student Loan, antara Harapan dan Jebakan

29 April 2025
Gelar Pahlawan, Gelar Pahlawan Soeharto, Kontroversi Gelar Soeharto, Gelar Pahlawan Nasional, Soeharto

Layakkah Soeharto Jadi Pahlawan Nasional?

22 April 2025
Rumah Ibadah, Aturan Pendirian Rumah Ibadah, Intoleransi Agama, Fenomena Intoleransi di Indonesia, Pelanggaran Kebebasan Beragama

Rumah Ibadah adalah Milik Tuhan dan Hamba-Nya

3 April 2025
hari raya, kesenjangan sosial, fenomena kesenjangan sosial, momen hari raya, ketimpangan sosial

Luka di Balik Hari Raya

1 April 2025

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
FEBI UIN Walisongo, Akreditasi FEBI UIN Walisongo, Akreditasi Prodi FEBI, Akreditasi FEBI, UIN Walisongo

Sudah Tau Akreditasi Prodi S1 FEBI UIN Walisongo? Ayo Cek di Sini!

18 April 2025
KSK Wadas, Studi Pentas Wadas, Teater Wadas, KSK Wadas UIN Walisongo, UIN Walisongo

KSK Wadas Kembali Adakan Studi Pentas dari Naskah Karya Arifin C Noer

26 April 2025
Kalam Walisongo, Harlah Kalam Walisongo, Reuni Alumni UIN Walisongo, UIN Walisongo, Komeng

Komeng Meriahkan Reuni Akbar & Halal Bihalal Kalam Walisongo 2025

19 April 2025
kesetaraangender, isu kesetaraan gender, webinar gender, budaya patriarki, kpi uin walisongo, uin walisongo

Stella Anjani Jelaskan Faktor Penghambat Terwujudnya Kesetaraan Gender

20 April 2025
Load More

Trending News

  • Aksi Diam, Aksi Diam UIN Walisongo, Perpustakaan UIN Walisongo, Aksi Diam Perpustakaan, Perkuliahan Hybrid UIN Walisongo

    Beberapa Mahasiswa UIN Walisongo Gelar Aksi Diam Tuntut Kembalikan Jam Normal Perpustakaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Diskusi KSMW UIN Walisongo Didatangi TNI dan Orang Tidak Dikenal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • FKHM UIN Walisongo Beri Tanggapan atas Diskusi KSMW yang Didatangi TNI dan Orang Tidak Dikenal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Atribut Ini Wajib Dikenakan Saat Wisuda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca dan Menelaah Falsafah Mandor Klungsu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Filosofi Toga yang Harus Wisudawan Tahu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Amanat.id

Copyright © 2012-2026 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Advertorial
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Kontak

Ikuti Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2026 Amanat.id

Send this to a friend