Di satu sisi, Internet bisa berperan sebagai dewa penyelamat. Di sisi lain, ia juga bertransformasi menjadi mesin pembunuh. Bagaimana nalar kritis kita menyikapi kamuflase ini?
Dunia di abad 21 telah melahirkan rekayasa dan perkembangan teknologi secara spekulatif dalam kehidupan manusia. Digitalisasi dan otomatisasi adalah produk nyata dari apa yang kita sebut sebagai revolusi industri 4.0 yang juga, telah merubah tatanan masyarakat secara fundamental.
Dari dampak revolusi itu pula, tercipta kegaduhan dan kegamangan luar biasa bagi masyarakat dalam dunia internet. Seperti kita tahu, era yang dihadapi masyarakat hari ini adalah era dimana semua ‘dipaksakan’ untuk serba digital dan terhubung satu sama lain melalui sebuah jaringan-internet.
Ya, Internet memang sudah begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari. Sampai-sampai, John Connor dalam film Terminator Genisya (2015) mengatakan bahwa “Inilah dunia masa kini. Dunia yang terus terhubung ke jejaring sosial dan menjadi candu bagi penggunanya”.
Hal itu kiranya memang cukup beralasan untuk menjadi perhatian masyarakat Indonesia pasalnya, mereka sendiri menjadi pengguna Internet tertinggi kelima pada 2017 lalu. Bahkan, mimpi buruk itu pun terus berlanjut menghantui ibu pertiwi. Bayangkan, memasuki bulan keenam di tahun 2019 saja, konsumsi masyarakat Indonesia terhadap Internet merangsek naik menuju tiga besar konsumen teratas.
Berdasarkan data internetworldstarts penetrasi Internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa atau sekitar 53 persen dari total populasi yang diperkirakan mencapai 296,54 juta jiwa. Jumlah pengguna internet di tanah air ini setara dengan 6,5 persen pengguna Internet di Asia. Bahkan, jumlahnya pun berada di rangking ketiga se-Asia.
Sementara, untuk negara dengan penetrasi Internet tertinggi di Asia adalah Korea Selatan yang mencapai 95,1 persen dari total populasi mereka. Artinya, hampir seluruh penduduk negeri Ginseng ini telah menggunakan Internet. Negara dengan penetrasi internet terbesar kedua di Asia adalah Jepang, yakni sebesar 93,51 persen dari populasi yang ada.
Meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap Internet dan menjamurnya perangkat mobile disinyalir menjadi penyebab tingginya aktivitas masyarakat dalam menggunakan Internet. Selain itu, dengan keadaan semacam ini menandakan bahwa masyarakat kita masih cenderung diperbudak dan terperangkap oleh teknologi yang diciptakan mereka sendiri.
Yang menyedihkan lagi, nalar berpikir masyarakat kita juga ikut terjebak dalam realisme semu benar-salah, bahkan seringkali mengklaim apa yang dibaca menjadi sebuah kebenaran mutlak dan menolak keras informasi yang tidak sesuai ideologi mereka. Alhasil, keyakinan itu pun tetap dipelihara dan terus berkembang hingga melahirkan nalar-nalar lain yang menyesatkan.
Padahal, di era tsunami informasi sekarang ini, pertaruhan nalar menjadi semakin sengit dan beringas. Internet yang notabene diciptakan manusia untuk mempermudah komunikasi justru, dijadikan sebagai medan pertempuran yang membuat kewarasan nalar semakin sulit diselamatkan. Misalnya saja dalam hal pencarian kebenaran suatu informasi dimana, masyarakat masih ‘malu-malu’ untuk melakukan check and recheck.
Hari ini, nalar kritis masyarakat berada pada titik sekarat dan membutuhkan pertolongan dewa. Ditambah lagi, nalar tersebut dimanipulasi sedemikian rupa sehingga, mengakibatkan kebingungan luar biasa. Memang, bagi masyarakat yang bernalar, kebenaran merupakan sesuatu yang sangat berharga sehingga patut diperjuangkan dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Tapi bagi masyarakat yang acuh tak acuh, kebenaran akan berharga jika mendukung kebenaran subjektif yang diyakininya.
Teknofobia atau Teknofilia?
Sejak kelahiran Internet, telah terjadi duel sengit antara teknofobia dan teknofilia. Tentang teknofobia-kelompok masyarakat terdampak teknologi, telah diramalkan oleh Neil Postman sebagai bentuk dari pesimisme technology dalam sebuah karya besar Technopoly: The Surrender of Culture to Technology.
Sementara, Nicholas Negroponte berhasil meyakinkan masyarakat bahwa teknologi menciptakan dampak positif yang kemudian dituangkan oleh Nicholas Negroponte dalam karyanya Being Digital. Ya, masing-masing memiliki opini dan pembelaan untuk menguatkan posisi mereka bahwa Internet berdampak positif atau pun negatif.
Di satu sisi, pengikut kaum teknofobia percaya bahwa suatu saat teknologi Internet akan menghancurkan nalar manusia. Hal itu tak lepas dari banyaknya isu dan penggiringan opini publik yang berujung pada hate speech, penipuan, propaganda dan bentuk kejahatan cybercrime lain.
Lebih jauh, ‘ramalan’ kaum teknofobia tersebut perlahan namun pasti, menggerogoti dan membunuh masyarakat. Mereka tidak sadar bahwa hari ini, teknologi Internet telah merampas hubungan bersosial mereka.
Namun, seakan tak mau menutup sebelah mata terhadap sisi negatif penggunaan Internet, kaum teknofilia-ketertarikan berlebih pada teknologi- juga tak mau kalah dan melakukan pembelaan dengan dalih, manusia tak akan mampu hidup dengan Internet. Mereka berkehendak jika Internet mampu menyediakan apa yang diinginkan manusia.
Dengan menyajikan kenyataan yang terjadi hari ini, kaum teknofilia percaya bahwa kelak dunia akan semakin ditentukan dan diatur oleh inovasi-inovasi teknologi. Siapa yang menguasai teknologi termuktahir dialah yang akan memiliki keunggulan.
Terkadang, kita juga masih melihat Internet dalam berbagai sudut pandang. Satu waktu bisa diibaratkan sebagai dewa penyelamat, kadang-kadang sebagai mesin pembunuh. Ada juga yang menganggap bahwa Internet sebagai kekuatan yang menguntungkan di masyarakat, membawa demokrasi dan peluang baru, dan bahkan sebagai kutukan modern yang, memungkinkan konten terlarang dalam jangkauan anak-anak.
Menggunakan secara bijak
Kemudahan memperoleh akses Internet, membuat masyarakat dengan leluasa berselancar menyelami dalamnya lautan informasi. Akan tetapi, kemudahan tersebut seringkali membuat mereka lupa akan bahaya yang mengintai. Mereka lupa bahwa, ada hiu yang siap menerkam kapan saja dan dimana saja mereka berselancar.
Meski Internet menyajikan apa pun yang kita inginkan, perlu diingat kembali bahwa Internet bukanlah sesuatu yang patut untuk ‘dituhankan’. Harus dicatat pula, tidak semua informasi yang ada di internet bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Sebagai masyarakat yang cerdas, tentu kita bijak dalam memilah dan memilih informasi yang akan kita konsumsi di era digital seperti saat ini. Menggunakan nalar berpikir skeptis dan kritis, seperti yang diajarkan oleh Socrates adalah salah satu cara yang bisa digunakan sebagai senjata melawan ganasnya lautan informasi.
Faktanya, masih banyak masyarakat yang belum menerapkan apa yang diajarkan oleh filsuf kelahiran Yunani tersebut. Jika hal ini masih lazim terjadi lalu, apakah nalar kritis masyarakat kita masih bisa diselamatkan di era digital ini?
**Tulisan pernah dimuat di Geotimes.co.id
Penulis: Agus Salim I.