
Bahasa ibu atau bahasa daerah semakin hari menjadi dialek sosial yang langka ditemukan. Di tempat- tempat umum, masyarakat membiasakan diri berkomunikasi menggunakan bahasa nasional dan bahasa asing. Bahkan beberapa keluarga, saat ini banyak membiasakan percakapan sehari-hari tidak lagi menggunakan bahasa ibu. Akibat dari semua itu, banyak generasi muda tidak mengenal dan tidak bisa melafalkan bahasa daerah tempatnya berasal.
Generasi muda yang tidak mengenal bahasa ibu, beberapa memang disebabkan tidak adanya didikan orangtua di rumah. Orangtua tidak mengajak anaknya untuk membiasakan berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Stigma yang berkembang beranggapan menggunakan bahasa daerah merupakan bentuk kemunduran dan ketidaksiapan dalam persaingan global. Sebab lain dari faktor orangtua dikarenakan kawin campur, secara otomatis bahasa yang digunakan di rumah merupakan bahasa nasional.
Penyebab lain gagapnya generasi muda dalam melafalkan bahasa ibu dikarenakan gengsi, terlebih ketika mereka di tanah perantauan. Mereka beranggapan bahasa ibu terlalu kuno dan menjadikan si pengguna medok. Dalam pergaulan sehari-hari, baik pemuda di peratauan atau tidak, banyak yang lebih memilih menggunakan bahasa prokem dan bahasa gaul. Lambat laun prokem tersebut terdengar familier seperti, kepo, bingit, cemungut, bokap, nyokap dsb.
Bahasa ibu, justru masih konsisten dan dijaga kelestariannya oleh kalangan lanjut usia (lansia).
Menjaga Identitas
Bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir, melalui interaksi dengan keluarga dan masyarakat. Perlu diketahui, bahwa bahasa menjadi alat komunikasi seluruh manusia, terhadap antar suku maupun bangsa. Selain itu, ragam dialek dan vokal bunyi dari bahasa ibu merupakan ciri dari identitas suku dan bangsa tersebut.
Data pemetaan bahasa daerah tahun 2017 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, di Indonesia bahasa daerah yang telah diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan. Dari 652 baru 71 bahasa daerah yang telah didokumentasikan dan dipetakan vitalitasnya. Diketahui 11 bahasa daerah sudah punah, 19 bahasa daerah terancam punah dan 2 bahasa daerah berstatus kritis. Bahasa daerah yang dinyatakan punah meliputi bahasa dari Maluku yaitu bahasa daerah Kajeli, Piru, Moksela, Palumeta, Ternateo, Hukumina, Hoti, Serua dan Nila. Serta bahasa dari Papua yaitu bahasa daerah Tandia dan Mawes.
Menurut Leanne Hinton, revitalisasi bahasa merupakan upaya untuk mengembalikan bahasa yang terancam punah, terlebih masyarakat yang telah mengalami penurunan pengguna bahasa. Tugas utama dari revitalisasi bahasa yakni, mengajarkan bahasa kepada orang yang tidak cakap berbahasa, dan membuat pelajar bahasa serta orang yang telah mengetahui bahasa agar menggunakannya dalam situasi apapun.
Upaya konkret yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat meliputi peran keluarga/ orangtua dan lingkungan. Pola pendidikan bahasa yang bisa diterapkan oleh orangtua, dengan membiasakan komunikasi di rumah melalui bahasa ibu. Semisal masyarakat dari Jawa Tengah, orangtua dapat mengajak anaknya untuk berkomunikasi dengan bahasa Jawa, baik bahasa Jawa Krama Inggil maupun Ngoko. Lebih lanjutnya, orangtua dapat menjelaskan peran dari kedua jenis bahasa Jawa tersebut.
Sedangkan peran lingkungan dalam perkembangan kepandaian berbahasa anak, sebatas pada pembiasaan kefasihan lisan dan dialeknya. Hal yang tidak kalah penting, stimulus positif orangtua kepada anaknya. Stimulus positif membantu anak menjauh dari sikap putus asa, anak akan tumbuh menjadi pribadi dengan pola pikir, perilaku dan berbahasa yang baik.
Peran strategis selanjutnya berada pada kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Selain melalui pendokumentasian bahasa daerah, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melahirkan dua kebijakan edukatif untuk menjaga keutuhan bahasa ibu. Pertama, dengan mengeluarkan kebijakan hari wajib berbahasa daerah sepekan sekali di lembaga pendidikan, berlaku dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT).
Kedua, menciptakan kreasi visual seperti, film kartun, film dokumenter maupun film pendek berbahasa daerah yang dapat ditayangkan melalui televisi atau media sosial. Sebab, saat ini banyak dari generasi muda yang tertarik dengan program teknologi, informasi dan komunikasi (TIK). Dengan memanfaat komunikasi visual, bahasa daerah menjadi lebih dekat dan komunikatif. Internalisasi nilai- nilai lokal bahasa daerah turut menjadi sangat efektif.
Dengan begitu, harapan agar generasi muda menguasai trigatra bahasa (bahasa daerah, bahasa nasional, bahasa asing), dapat terwujud dan tertranmisikan dengan baik.
Fajar Bahruddin Achmad
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga UIN Walisongo, Aktif di SKM Amanat.