Watak kaum intelektual di Indonesia terolah dalam semangat buruh. Buntut strategi pendidikan kolonial yang diancang sebagai sistem perburuhan belaka. Kerja sekolah mencetak kalangan berakal-pikir, tapi sekaligus dibebat mental kebergantungan: “kebaikan” penguasa mengangkat kaum terpelajar sebagai abdi.
Narasi itu terbetik pada 1942. Rapat Umum PNI di Bandung dan Jakarta ketika itu, pidato Bung Karno bertajuk “Kewadjiban Kaoem Intellectueel” seolah timah panas yang ditembakkan kepada para kaum intelektual pribumi. Pidato itu disarikan dalam buku Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok suntingan A Zainoel Ihsan dan Pitoet Soeharto (1981). Gugatan Bung Karno menyasar kepada jamak intelektual pribumi yang bermental buruh. Mereka yang menggantungkan diri atas pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah kolonial, menikmati jeratan lingkaran kekuasaan, dan enggan berpaling pada barisan pergerakan rakyat yang menghasrati kemerdekaan republik. Mustinya, kaum intelektual, orang-orang yang sudah dikurniai pendidikan sekolahan itu, tak mangkir dari panggilan perjuangan yang diagendakan rakyat bersama para intelektual-pejuang.
Saat itu, imperialisme-kapitalisme bercorak industrial yang ditanam Belanda masih mekar di Indonesia. Meski dominasi politik kolonial berangsur-angsur melemah. Kerja mengeruk rempah-rempah, juga perusahaan-perusahaan yang dibangun kolonial, terus berjalan. Semakin menggemukkan timbunan untung yang sebetulnya kekayaan jarahan.
Tak bisa ditampik, sebagaimana tinjauan Bung Karno yang merujuk gagasan Spreker, imperialisme-kapitalisme bercorak industrial menandaskan kuasa politik pengetahuan yang memengaruhi genealogi kaum intelektual Indonesia. Imperialisme industrial memerlukan banyak pekerja. Riwayat bangsa Indonesia terlarat sebagai buruh kasar dalam kerja rodi, juga kerja-kerja industri yang berupah murah. Kaum intelektual—yang oleh Bung Karno dimaknakan sebagai kaum yang akal-pikirannya telah mendapat didikan—menjadi sasaran untuk diperburuhkan sebagai “buruh lemas” (buruh halus). Mental “daulat tuanku” membuat orang-orang pengenyam sekolahan itu justru menikmati pendisiplinan tubuh dan pikiran. Semacam sikap untuk menebus masa depan sebagai buruh halus di lembaga-lembaga atau perusahaan Belanda.
Lain lubuk lain belalang. India memiliki kasus intelektualitas berbeda, meski sama-sama negeri jajahan. Kolonialisme Inggris bercorak imperialisme dagang. Inggris memproyeksikan masyarakat jajahan sebagai konsumen barang-barang yang diproduksi dari negerinya. Gairah belanja dipacu dengan jalan memberi pendidikan seluas-luasnya kepada warga pribumi. Meningginya kadar pengetahuan otomatis meningkatkan tingkat kebutuhan. Modernisasi pikiran menjadi ancangan untuk melesatkan hasrat konsumsi. Meski begitu, pola pendidikan kolonial Inggris yang maju dan relatif terbuka, menyebabkan kaum intelektual di India lebih progresif ketimbang di sini. Kaum terdidik kala itu memiliki cukup gairah untuk bergandengan tangan di barisan perjuangan.
Wicara-kritik Bung Karno tentang kewajiban kaum intelektual untuk memihaki gerakan perubahan bangsa itu sudah tujuh dekade dilalui waktu. Sejauh itu, watak buruh di tubuh kaum intelektual sudahkah meluruh?
Nada pertanyaan tersebut bisa jadi polifonik: kecemasan, kegemasan, kengenasan, penyangsian, juga penyangkalan. Begitulah kaum intelektual Indonesia hari ini masih diacungi tanda tanya terkait posisi dan perannya dalam proses transformasi kehidupan bermasyarakat-berbangsa.
Kampus menjadi titik pusat bidikan atas segala gugat dan kritik. Sebab lembaga pendidikan tinggi itulah yang paling nyaring mendaku diri sebagai rahim sekaligus rumah kaum intelektual. Sarjana tingkat lanjut, juga calon sarjana, hidup berkerumun di lingkungan ilmiah yang diorganisasikan dengan aturan birokrasi. Obsesi profesionalitas, di sisi lain, menyusupkan agenda pendisiplinan pikiran. Tak jarang kampus menjadi ruang yang kontraproduktif bagi perkembangan pemikiran dan gagasan-gagasan yang bisa ditransformasikan ke dalam praktik-praktik kehidupan masyarakat. Kecuali itu, pengulangan gagasan dengan tehnik pengutipan atau kompilasi gagasan orang lain.
Ironi kaum intelektual pun terbentang. Kalangan dosen yang sekadar sibuk di ruang kelas. Akademisi yang dibebani amanat birokrasi sehingga duduk terpuruk di meja kerja. Profesionalisme memfungsikan para dosen dan akademisi sekadar alat mencapai target dari program-program yang direncanakan oleh perguruan. Di bawah kaki profesionalisme, kaum intelektual melakukan kerja-kerja sesuai target dan imbalan. Laku intelektualitas berjalan di atas perhitungan produksi dan penghasilan. Hari ini pin kita memafhumi, atau bahkan memaklumi, kerja penelitian yang dilakukan akademisi kampus tereduksi sekadar menjadi obyek proyek yang berefek uang.
Jauh hari Edward W Said menegaskan bahaya profesionalitas di kalangan kaum intelektual. Bukunya Representations of the Intellectual (1994) menyerukan bahaya kaum intelektual yang sekadar menjadi kalangan profesional, bahkan sebatas menjadi tokoh dalam tren sosial. Prototipe intelektual yang diwacanakan Said merujuk gaagasan Antonio Gramsci, seorang Marxis dari Italia, yang mengklasifikasi intelektual ke dalam dua golongan: intelektual tradisional dan intelektual organik. Sementara intelektual tradisional—misal dosen, guru, atau pendeta—tetap di tempat dan melakukan pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu, pro kemapanan. Intelektual organik secara aktif terlibat di dalam masyarakat, bergerak, dan bekerja di dalam arus kemenjadian: aksi terus-menerus mengubah pikiran dan memperluas jangkauan demi mengabarkan kebenaran dan mengubah sesuatu “dunia yang semestinya ada”.
Sebab itulah Said lebih menumpukan harapan kepada intelektual amatir, ketimbang intelektual profesional yang fungsi intelektualitasnya berada dalam bebanan target dan imbalan. Demikian seolah buruh harian sebab intelektual mengejar sokongan penghidupan dan kemapanan sosial. Sedang intelektual amatir adalah yang bergerak karena rasa, cinta dan obsesi, atas pengetahuan yang lebih besar yang mampu memuaskan dirinya. Intelektual amatir berupaya keras melintasi batas-batas pengkhususan ranah pemikiran dengan menjalin hubungan lintas batas di dalam pengembangan ide-ide dan gagasannya.
Diskursus Said menghadiahi generasi hari ini satu cermin untuk mengacai wajah intelektual kampus terkini. Dalil profesional secara diam-diam dan tak terasa menanam semangat pemburuhan, bahkan pembudakan. Tak bisa disamaratakan, memang, sebagian intelektual kampus kini selain punya rasa cinta pengetahuan yang besar juga terlibat dalam proses transformasi sosial, menjawab dan mengatasi perkara-perkara bangsa yang tak makin berkurang. Yang lebih banyak adalah mereka yang sibuk di dalam akrobat-akrobat birokratis-profesional yang seragam. Mereka yang masih saja merasa dunia ini baik-baik saja. Mereka yang sibuk untuk pamrih keuntungan dari posisi dan gelarnya sebagai intelektual.
Mafhumlah kita, semangat pemburuhan itu telah menjelmakan jamak dosen di kampus tak ubahnya “juragan kecil”. Berkacak pinggang di pelbagai kesempatan seraya mendistribusikan perintah dan instruksi. Dosen berhak menukar ketidakhadirannya dengan penugasan. Alih-alih sadar kehilangan banyak waktu untuk mengerjakan tugas, mahasiswa justru senang tak bertatap muka dengan dosen. Model ujian tak home jadi tren. Waktu yang mustinya didayagunakan faedahnya untuk menjadikan mahasiswa lebih berswasembada dengan mengerjakan lain hal di ranah intra/ektrakulikuler terenggut oleh kewajiban tugas. Kita pun menjadi bebal untuk sekadar heran terhadap mahasiswa-mahasiswa hari ini yang lebih banyak mengerjakan tugas-tugas kuliah, memar menatap buku-buku diktat.
Betapa pendisiplinan itu perlahan mematikan. Akan jadi apa intelektual kampus hari esok?
—Musyafak,
Esais, mantan pengelola SKM Amanat
*Terbit di Tabloid SKM Amanat Edisi 117.