Amanat.id- Sore hari ditemani gerimis, Mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Lailatul Maghfirah mengikuti pengajian Ramadan di Sahabat Mata Mijen sembari menunggu azan maghrib berkumandang, Rabu (13/3/2024).
Sebagai penyandang disabilitas tunanetra low vision, Lailatul Maghfirah mengaku bisa mengikuti pelajaran di kelas dengan baik karena belajar terlebih dahulu.
“Saya dapat mengikuti perkuliahan di kelas dengan baik karena belajar terlebih dahulu menggunakan komputer bicara untuk membacakan makalah,” ucap Laila saat di wawancarai oleh tim Amanat.id, Rabu (13/3/2024).
Laila juga tak segan untuk meminta bantuan kepada temannya saat di kelas.
“Jika ada catatan di papan, saya meminta bantuan teman untuk difotokan dan juga membantu seperti kendala pada laptop,” terangnya.
Ia juga mengingatkan dosen yang hendak menulis di papan, agar menjelaskan secara lisan juga.
“Di awal pembelajaran, kalau ada dosen yang mengajar dengan menulis di papan, saya harus mengingatkan untuk tetap menjelaskan secara lisan,” katanya.
Laila menambahkan, tidak ada penugasan khusus untuknya. Dosen pun memberi keringanan kepadanya jika ada tugas menulis.
“Untuk penugasan khusus tidak ada. Namun, jika ada tugas yang ditulis tangan, saya diberi keringanan untuk mengumpulkan dalam bentuk file,” ungkapnya.
Mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra lainnya, Prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Ayu Putri Rachmawati mengatakan bahwa ia sempat merasa kesulitan mengikuti pembelajaran di awal semester.
“Saat semester satu, sulit untuk mengikuti perkuliahan,” aku Ayu.
Di semester selanjutnya, terlintas di benak Ayu untuk merekam pembelajaran di kelas agar bisa didengar kembali. Hal ini pun berlanjut sampai semester empat.
“Semester dua saya terpikir untuk merekam penjelasan dosen saat di kelas agar bisa didengarkan kembali. Sampai saat ini, semester empat, saya masih merekam penjelasan dosen,” jelasnya.
Senada dengan Laila, Ayu juga tidak segan bertanya kepada teman dan dosen, jika ada materi yang tidak dipahami.
“Kalau saya kurang paham tentang pembelajaran, saya langsung bertanya pada teman atau dosen,” tuturnya.
Bahkan, lanjutnya, ada dosen yang memberi jam tambahan kepada Ayu.
“Ada dosen yang memberi saya jam tambahan di luar kelas untuk menjelaskan ulang,” katanya.
Keluh Fasilitas Disabilitas
Selain pembelajaran di kelas, Laila mengaku, ia dan rekan disabilitas yang lain mengalami kesulitan dengan guiding block di depan Auditorium II.
“Tidak hanya saya, tapi teman-teman disabilitas lain juga mengeluh tentang guiding block yang ada di depan Auditorium II,” ucapnya.
Pasalnya, hal itu kerap membuat tersandung saat lewat.
“Di situ ada yang terhalangi dengan tempat tiang bendera yang sering membuat tersandung. Itu sangat berbahaya,” tambahnya.
Laila juga merasa perlu adanya pembeda toilet laki-laki dan perempuan, agar bisa dikenali oleh mahasiswa disabilitas UIN Walisongo.
“Di depan toilet bisa diberi elemen timbul yang bisa diraba agar kita bisa mudah membedakan antara toilet laki-laki dan perempuan,” katanya.
Sementara Ayu, ia merasa kesulitan untuk menaiki tangga di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK).
“Saya mengalami kesulitan untuk menaiki tangga di fakultas karena belum adanya fasilitas seperti lift,” ujarnya.
Andil Dosen dalam Pembelajaran
Salah satu Dosen PBA, Naifah memastikan agar semua mahasiswa bisa mengakses informasi dengan jelas.
“Saya memastikan mahasiswa dapat mengakses informasi dari dosen dengan baik,”
“Dengan adanya akomodasi dari kampus untuk mahasiswa tunanetra, seperti tempat duduk dan pemanfaatan teknologi, seperti text-to-speech software JAWS, audio description, dan komputer bicara, serta rekaman,” terangnya saat di wawancara oleh tim Amanat.id, Senin (18/3/2024).
Naifah mengatakan tidak ada pelatihan khusus untuk dosen sebelum mengajar pada kelas inklusi.
“Tidak ada pelatihan khusus untuk dosen, tapi sebelum perkuliahan dimulai, dosen wali memberikan motivasi dan mempersiapkan mental mahasiswa,” sambungnya.
Dosen program studi Badan Penyuluhan Islam (BPI), Ayu Faiza menuturkan bahwa tidak ada penugasan khusus bagi mahasiswa disabilitas karena ia memberikan tugas dari jauh hari.
“Saya tidak memberikan penugasan khusus, karena saya selalu memberikan tugas dari jauh-jauh hari,” tuturnya.
Ia juga memberikan kebebasan bertanya bagi mahasiswa disabilitas yang kesulitan.
“Jika mengalami kesulitan bisa menghubungi saya, nanti akan saya balas menggunakan pesan suara untuk mempermudah komunikasi,” ungkapnya.
Di akhir wawancara, Ayu Faiza menegaskan bahwa tugas dosen bukan hanya sekadar mengajar, tapi juga memotivasi mahasiswa.
“Tugas dosen itu tidak hanya mengajar mahasiswa, tapi juga memotivasi mahasiswa,” tutupnya.
Reporter: Melini Rizki
Editor: Gojali