Dalam pandangan masyarakat, gaya hidup kaum mahasiswa seringkali dipandang mempunyai kehidupan yang mewah. Selain itu, letak geografi sebuah Universitas yang berada di perkotaan juga menambah kesan kehidupan yang lebih gemerlap.
Namun, tidak semua kelompok mahasiswa memiliki gaya hidup yang sama. Ada yang senang bermewah-mewah, ada pula yang hidup secara sederhana. Tak ayal, julukan sebagai kaum Proletar dan Borjuis pun seringkali menyeruak.
Dalam definisi Karl Max, kaum Proletar dianggap sebagai kelas kedua dalam stratifikasi sosial dan digunakan untuk mendefinisikan kelas sosial rendah. Mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kelas Borjuis adalah sebuah kelas sosial yang menjadi bagian dari kelas menengah ke atas dan mendapatkan kekuatan ekonomi.
Di UIN Walisongo sendiri, dualisme antara mahasiswa Proletar dan Borjuis semakin kentara dalam kehidupan luar kampus.
Misalnya saja, dari segi tempat tinggal sementara; kos, mahasiswa Proletar lebih memilih hidup dengan biaya sewa yang lebih murah. Ini dilakukan semata-mata untuk mengurangi beban orang tua. Sebab, tanggungan mereka hanyalah belajar, belajar dan terus belajar.
Bandingkan dengan kos-kosan mahasiswa Borjuis yang memiliki fasilitas memadai, bahkan kebutuhan tersier pun tersedia dalam kosnya. Faktor keamanan dan kenyamanan menjadi kriteria tersendiri bagi mereka.
Selain itu, tempat nongkrong juga tak luput dari perhatian penulis. Mahasiswa Borjuis lebih senang nongkrong di tempat-tempat tertentu. Meski dengan tagihan yang terbilang mewah, senyum pepsodent pun senantiasa terpancar dari wajah mereka. Ditambah lagi, menjamurnya café mewah di sekitar kota Semarang menambah panjang deretan tempat nongkrong mahasiswa.
Lain halnya dengan mahasiswa Proletar yang senang nongkrong di tempat murah dengan harga murah plus wifi gratis. Bagi mereka, itu merupakan hal yang lumrah di kalangan mahasiswa Proletar.
Akan tetapi, tidak semua kalangan Proletar dan Borjuis mempunyai kriteria semacam itu.
Merujuk pada pandangan Pierre Bourdieu mengenai kapital, mahasiswa Borjuis memiliki kapital ekonomi, kapital simbolik dan kapital sosial yang kuat, namun belum memiliki kapital budaya yang kuat pula berkaitan dengan akumulasi intelektualitas. Sedangkan mahasiswa Proletar memiliki kapital budaya yang begitu kuat.
Meskipun kedua kaum tersebut terlihat berbeda kelas sosialnya, bukan berarti harus terjadi perbedaan relasi antar keduanya.
Penulis: Agus Salim