Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Dengan populasi mayoritas, tak heran jika ada beberapa kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) salah satunya.
HTI menganggap bahwa penetapan sesuatu harus dengan hukum Allah, beragama Islam harus totalitas dan secara menyeluruh. Lalu, Umat harus kembali ke Islam yang murni, berdasarkan Al Quran dan Hadits. Namun aneh, dengan prinsip seperti itu, yang menjadi visi utama mereka malah merubah dasar negara Indonesia. Dengan anggapan, agama tidak akan bisa dijalankan dengan sempurna sebelum khilafah berdiri.
Memang sangat janggal. Apalagi, dalam Al Quran tidak ada satupun ayat yang secara mahkamat memerintahkan umat Islam mendirikan khilafah. Yang ada malah ayat bahwa Allah memberikan toleransi untuk beragama. Q.S Al-Baqarah 256 : “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” Jika dalam berislam Tuhan saja menegaskan tidak ada paksaan, lah kok sekarang malah HTI memaksakan negara Khilafah untuk Indonesia.
Jika menilik sejarah Indonesia di awal kemerdekaan, Sila pertama yang menjadi dasar pada awalnya memang berbunyi, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Akan tetapi, wakil-wakil dari non-Muslim sangat keberatan terhadap sila pertama itu. Dengan tercantumnya ketetapan seperti itu, mereka beranggapan negara akan melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Oleh karena itu, Moh. Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk membicarakan hal yang serius ini. Karena mereka tidak ingin ada perpecahan dalam suatu bangsa dimana jika hal itu terjadi maka akan membahayakan keutuhan NKRI. Akhirnya, mereka bermusyawarah mufakat untuk mengubah isi sila pertama menjadi hanya Ketuhanan Yang Maha Esa.
Maksud utama Ulama Indonesia pada waktu itu menerima Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah Supaya tidak terjadi disintegrasi di Indonesia. Seperti Rasulullah SAW menerima perjanjian damai Hudaibiyah yang seolah merugikan Islam namun kenyataanya di sanalah titik balik menyebaran Islam tanpa perang dan senjata.
Dari sejarah ini kita bisa menyimpulkan bahwa para tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia mementingkan jiwa Nasionalisme. Karna negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan akan menyatukan seluruh keragaman perbedaan terutama perbedaan agama.
Indonesia adalah negara heterogen yang memiliki beragam suku, bahasa, agama dan adat kebiasaan. Semboyan Indonesia adalah Bhineka Tunggal ika. Frasa ini dapat kita lihat terpampang jelas pada lambang Garuda Pancasila, yakni pada pita di bagian kaki. Semboyan ini berperan sebagai pemersatu bangsa.
Persatuan dan Kesatuan merupakan senjata yang paling ampuh bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Persatuan berarti bersatunya macam-macam corak yang beranega ragam menjadi satu kesatuan yang utuh. Jadi Keutuhan bangsa dan negara Indonesia harus tetap dijaga secara utuh.
Kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh suku, agama ras dan etnis yang bermacam-macam. Mereka Semua adalah Indonesia. Jika negara Indonesia menjadi negara Islam sama halnya dengan menghianati sejarah perjuangan para pendiri Bangsa Indonesia yang telah berjuang hingga titik darah penghabisan.
Dalam konteks ini berlaku kaidah, mencegah perbuatan keji itu lebih di utamakan dari mengajak kepada kebaikan. Jadi, jika perubahan indonesia menjadi negara islam hanya akan memunculkan perpecahan dan konflik, sebaiknya hal itu dihindari. Toh, Ideologi Pancasila yang lebih dari tujuh dekade telah terbukti mampu memayungi bangsa Indonesia yang penuh perbedaan dan tetap menjaga kesatuan dan keutuhannya.
Oleh karena itu kita harus saling menghargai, menghormati dan toleransi. Dengan adanya persatuan dan kesatuan Negara akan mudah mencapai tujuan Nasionalnya sehingga kesejahteraan rakyat akan meningkat.
Mahasiswa semester 2 Prodi Pendidikan Matematika
UIN Walisongo Semarang