Secara mendasar, hampir setiap orang pasti pernah mengkritik film. Mengkritik berarti menanggapi tentang apa yang ditonton. Komentar sederhana seperti “ceritanya jelek”, “efek visualnya kasar”, “aktingnya kaku”, dan sebagainya menjadi contoh orang dianggap mengkritik film. Komentar yang sebenarnya penuh subjektivitas penonton.
Subjektif dan objektivitas komentar yang disampaikan menjadi titik pembeda dalam nilai sebuah kritik. Seorang kritikus dapat menekan subjektivitas atas selera suatu film untuk mencapai nilai kritik yang patut didengar dan dibaca.
Tak ada larangan atas kritik yang didasarkan atas selera semata. Setiap orang berhak atas itu. Masalahnya, ketika kritik tersebut disampaikan ke ranah publik, akan riskan jadinya jika kritik tersebut dibaca atau didengar sebagai referensi orang lain. Nah, di sinilah peran seroang kritikus dibutuhkan.
Kritik yang disampaikan seorang kritikus diharapkan menjadi referensi yang objektif bagi orang yang hendak menonton sebuah film. Terlepas dari apakah kritik tersebut mampu memengaruhi antusias seseorang dalam menonton film.
Film Bagus Belum Tentu Laris
Kenyataannya, banyak film yang secara kualitas biasa-biasa saja, tapi laris di pasaran. Hal ini menjadi bukti bahwa kritik berdasarkan subjektivitas masih tinggi pengaruhmya di ranah publik.
Seri Transformer garapan mas Micheal Bay misalnya, banyak disukai orang hingga laris di pasar global. Penonton terlalu terpikat oleh kecanggihan CGI yang menyajikan pertempuran antar robot. Cukup jarang ada adegan seindah itu sebelumnya.
Padahal menurut Himawan Pratista, seorang kritikus film, ia mengatakan bahwa penyajian alur dan plot ceritanya tidak begitu rapi dan terkesan tergesa-gesa. Pada kasus film Transformers seri kedua, ada sebuah adegan ketika Matrix bisa menghidupkan kembali si protagonis Optimus Prime. Plot tersebut terkesan menjadi sebuah plot armor yang dipaksakan dan tidak diketahui latar belakang Matrix, dari mana dan ada untuk apa?
Rating di IMDb Transformers kedua hanya mendapat skor 5.9/10 dari penilaian 400 ribu orang yang kebanyakan para kritikus. Nilai yang terlalu rendah untuk disebut film yang bagus.
Bandingkan dengan film Interstellar. Banyak orang yang tidak menyukai filmnya. Ada yang mengatakan ceritanya susah dipahami hingga dikatakan tidak masuk akal. Fim ini memperoleh pendapatan sebesar $675,1 juta. Lebih sedikit dari perolehan film Transformer seri kedua yang memperoleh $836,3 juta.
Dilihat dari kualitasnya, film ini dinilai oleh banyak kritikus lebih baik daripada film Transformers. Semua aspek pada film ini menyuguhkan sesuatu yang luar biasa. Plot-plot yang tidak terduga hingga alur cerita yang kompleks menjadi nilai plus dari film ini yang mendapat pujian dari para kritikus film.
Jika dikaji lebih dalam, yang ada dalam film ini sesuai dengan sains dan ilmu pengetahuan. Interstellar memperoleh rating IMDb 8.6/10 penilaian dari sekitar satu juta orang, lebih dari itu, film ini berhasil memenangkan penghargaan Academic Award untuk visual terbaik.
Bagaimana Mengkritik yang Bijak?
Perbandingan kedua film tersebut membuktikan bahwa banyak sekali aspek yang harus dinilai dalam sebuah film. Penilaian sebuah karya seni memang tidak lepas dari sifat subjektif. Tetapi seperti yang telah disebut di atas, sudah seharusnya seorang kritikus menekan subjektivitas agar menghasilkan kritik yang objektif.
Kritikus film harus punya pengetahuan dan pengalaman menonton lebih dari orang kebanyakan. Tahu tentang struktur film, bahasa sinematik film, sejarah, teori, dan punya pengalaman menonton yang sudah tak terhitung lagi. Untuk menempuh perjalanan panjang menjadi seorang kritikus film, sertifikasi bukan tujuan utamanya. Melainkan loyalitas para pembacanya.
Seorang kritikus yang baik akan banyak memberi suguhan hal yang terlewat ketika pembaca melewatkan suatu hal dalam film. Sederhananya, seorang kritikus film akan membantu pembaca memahami filmnya dengan baik.
Tolok ukur kritikus dalam menilai suatu film adalah komparasi atau membandingkan film yang satu dengan yang lain. Ketika mereka menonton suatu film, pengalaman baru akan terbuka dengan kriteria atau opsi yang akan dipakai untuk menilai filmnya.
Para penikmat film juga melakukan hal serupa dengan memberikan komentar yang berbeda antara film satu dengan yang lain. Secara tidak langsung, ini membuktikkan mereka juga mengomparasikan filmnya.
Selain dengan mengomparasikan antara film satu dengan film yangn lain, ada beberapa aspek yang bisa diukur untuk film, di antaranya premis cerita, konflik, alur cerita, pengembangan cerita, plot, karakter, hingga visual.
Misalnnya saja pada aspek alur. Untuk menilai film dokumenter yang bagus, bukan dari keunikan alur ceritanya. Melainkan keakuratan alur cerita dengan kejadian yang sebenarnya.
Contoh lain, dari segi karakter, penilaian suatu tokoh bukan berdasar karakter fiksi semata. Karakter yang menarik dan konsisten serta memiliki pengembangan yang mumpuni akan menjadi nilai plus suatu film. Tanpa adanya konsistensi dan pengembangan karakter cerita akan terasa biasa saja walaupun ceritanya bagus. Mulai dari protagonis utama, antagonis, dan karakter sampingan lainya. Para aktor sudah berkewajiban untuk mendalami karakternya.
Bijak dalam mengkritik film tidak hanya sebatas melontarkan pendapat dan komentar semata. Lebih dari itu, kritik yang bijak menjadi sebuah apresiasi bagi pelaku seni film itu sendiri.
Penulis: Imamul M.