Sebagai salah satu Kecamatan di kota Semarang, Ngaliyan mempunyai sejarah tersendiri. Konon, nama ini diambil dari laku seorang Wali.
Agus Haryanto (60) menunjukkan sebidang lahan berpagar besi di kawasan Perum Wahyu Utomo kelurahan Tambak Aji, Kecamatan Nyaliyan, Senin (24/04) sore. Lahan itu dipenuhi rerimbunan berbagai macam tanaman dan diapit rumah-rumah besar milik warga. Lahan yang kini dikenal sebagai Petilasan Mbah Alian ini masih terawat oleh warga sekitar.
Konon, Mbah Alian adalah sosok yang pertama kali membuka lahan atau babat alas wilayah Ngaliyan. Tahun 1982, sekitar petilasan akan dijadikan perumahan. Karena makam itu dikeramatkan, masyarakat meminta pengelola proyek tidak menggusur petilasan Mbah Alian untuk kepentingan pembangunan.
“Pemegang Proyek akhirnya memberikan lahan ini. Jadi, Lahan ini ya milik umum sekarang,” ungkap Agus, salah seorang warga di perumaham Wahyu Utomo RT 02/04.
Sosok Mbah Alian hingga sekarang tetap misterius. Tidak diketahui pasti asal usul dan sejak kapan ia singgah di daerah ini.Hanya tertinggal petilasan sebagai bukti historis keberadaannya. Terdapat dua versi mengenai sosok Mbah Alian. Versi pertama, yang menurut Agus paling populer, Mbah Alian adalah seorang ulama atau wali pengembara yang menyebarkan dakwah Islam. Untuk menghormati jasa-jasanya, nama daerah ini, Ngaliyan diambil dari nama tokoh tersebut.
“Jika warga asli sini ditanya perihal asal-usul nama Kecamatan Ngaliyan pasti yang jadi acuan adalah versi ini,” paparnya.
Abdul jalil (47) tokoh masyarakat Ngaliyan mengungkapkan, penyebutan nama Mbah Alian berasal dari kata ‘alih-alihan’ (berpindah-pindah). Ia disebut demikian karena dalam berdakwah suka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ada yang menyebut, Mbah Alian mengembara dari Ponorogo, Jawa Timur hingga Cirebon, Jawa Barat dengan menunggang kuda. Buktinya, ada delapan tempat di beberapa wilayah yang memiliki nama daerah sama, Ngaliyan.
Selain di Semarang, nama Ngaliyan terdapat di Ponorogo, Pasuruan, Salatiga, Boja, Batang, Tegal dan Cirebon. Sementara versi kedua menyebut, Mbah Alian bernama asli Syeh Ali, seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Agus mendengar sejarah itu justru dari Habib Lutfi Pekalongan saat mengisi pengajian di Ngaliyan. Syeh Ali singgah di Ngaliyan dengan maksud berdakwah sekaligus menggalang kekuatan setelah pangeran Diponegoro di penjara oleh pemerintah Belanda.
“Setelah Pengeran Diponegoro di penjara, akibat kalah perang, pengikutnya menyebar ke berbagai daerah. Salah satunya adalah Syech Ali yang singgah di daerah ini,” ucap Agus menirukan Habib Lutfi.
Mbah Alian tidak meninggalan apapun di tempat itu selain petilasan. Itu dibenarkan Margo, ketua RT 02 RW 04, wilayah tempat petisan berada. Keberadaan sebuah sumur di petilasan merupakan buatan warga. Namun, oleh sebagian orang, sumur itu dianggap sebagai sumur keramat peninggalan Mbah Alian. Tak heran, sebagian warga biasa mandi di sumur itu.
“Saat musim kemarau tiba, sumur yang terdapat di petilasan Mbah Alian dimanfaatkan oleh warga sekitar yang sumber air di rumahnya kering,” katanya.
Laku seorang wali Persis di depan petilasan, terdapat sungai yang mengalir ke Kali Beringin. Menurut Abdul Jalil, Mbah Alian merupakan seorang ulama yang taat beribadah. Masuk akal, dia membuat tempat tinggal di dekat sungai agar mudah saat mengambil air untuk bersuci.
“Kalau kita melihat sejarah kebanyakan ulama-ulama besar atau tokoh seperti Walisongo, selalu mempunyai tempat tinggal yang dekat dengan sumber air. Mungkin karena dalam bergerilya menyebarkan agama Islam, memilih tempat yang dekat dengan air untuk mempermudah beribadah,’’ katanya.
Menurut dia, Mbah Alian masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan dengan keraton Cirebon. Ia disebut seorang ulama berketuruan Arab-Tiongkok.
“Seperti itulah yang diceritakan leluhur kami,” katanya.
Ngaliyan yang dulu dikenal sebagai sentra produksi jambu biji (klutuk) telah bertransformasi menjadi metropolitan yang terus tumbuh pesat. Kecamatan Ngaliyan memiliki sepuluh kelurahan, yaitu Kalipancur, Purwoyoso, Ngaliyan, Wates, Tambak Aji, Gondoriyo, Wonosari, Podorejo, Bambankerep, dan Bringin.
Selain berdiri lembaga pendidikan tinggi, Ngaliyan ramai dengan ratusan kios, swalayan, perumahan, rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, sekolahan, pasar tradisional, pondok pesantren, minimarket, hingga objek wisata.
Setahun sekali, tepatnya pada bulan Sura atau Maharram, warga Perum Wahyu Utomo rutin mengadakan tahlilan dan pembacaan surat Yasin yang dikhususkan untuk Mbah Alian. Dalam acara itu, ada tradisi tumpengan yang dimakan bersama di petilasan tersebut selesai doa.
“Bagi warga Perumahan Wahyu Utomo yang sehaluan pandangan keagamaannya, biasanya ikut dalam acara ini. Namun, bagi warga yang memiliki cara pandang berbeda, kami juga tidak masalah mereka tidak bergabung,” katanya.
*Laporan pernah diterbitkan di Tabloid Amanat edisi 128