Usai melaksanakan puasa Ramadhan, umat muslim di Indonesia mempunyai tradisi unik yang tidak dimiliki negara-negara lain. Ya, tradisi itu bernama halalbihalal. Dalam pelaksanaannya, halalbihalal biasanya diisi dengan kegiatan yang positif seperti berkunjung ke rumah kerabat, silaturrahmi, ajang maaf-maafan hingga makan bersama.
Secara umum, halalbihalal dimaksudkan sebagai acara silaturrahmi yang dilaksanakan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan dengan kegiatan inti saling bermaaf-maafan satu sama lain.
Meski mempunyai nama khas Arab, namun halabihalal merupakan tradisi otentik nusantara dan tidak diturunkan oleh negara di belahan bumi lain. Kehadiran halalbihalal juga tak disebutkan secara eksplisit oleh Alquran maupun hadis.
Namun, bukan berarti halalbihalal termasuk ajaran Islam yang ilegal. Dalam penamaan istilah halalbihalal memang tidak ada dasar yang jelas, akan tetapi nilai-nilai ajaran dan praktik dalam halalbihalal memiliki dasar hukum yang kuat dalam al-Quran dan hadis.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada suadaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan padanya,” (HR. Al-Bukhari).
Lalu, pertanyaannya, siapakah sebenarnya yang menciptakan tradisi ini? Bagaimana sejarah kelahirannya?
Belum ada riwayat yang secara sahih menceritakan, siapa pencetus tradisi halalbihalal ini. Ada yang mengatakan halalbihalal dirintis oleh Pangeran Sambernyawa. Dikisahkan, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Sebagian versi menyebutkan, halalbihalal merupakan tradisi yang dibuat oleh Kiai Wahab Hasbullah dengan Bung Karno. Ketika Indonesia mengalami masa disintegrasi pada 1984 dimana, terjadi pemberontakan oleh kelompok DI/TII hingga PKI yang melibatkan berbagai tokoh politik.
Khawatir akan terjadinya perpecahan bangsa, Bung Karno mengundang Kiai Wahab Hasbullah untuk menyelesaikan ketegangan ini. Lalu, Kiai Wahab mengusulkan agar diadakan silaturrahmi dan maaf-maafan. Usulan itu pun diterima Bung Karno namun, harus ada perubahan nama. Akhirnya, tercetuslah nama halalbihalal.
Menjaga tradisi
Sejarah syariat islam menyuguhkan fakta bahwa islam menerima terhadap budaya baru yang telah berkembang sebelumnya. Karena tak lahir di ruang hampa, maka syariat islam menerima unsur-unsur kebudayaan dan tradisi yang sudah hidup sebelumnya.
Kemunculan tradisi halalbihalal sebenarnya sudah ada sejak dahulu, lantas ditiru oleh masyarakat. Namun, ruang lingkup yang digunakan masyarakat tidak lagi terjebak dalam batasan wilayah istana seperti yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa maupun Bung Karno. Mereka (baca: masyarakat) membuat tradisi ini lebih membaur dan diterima di masyarakat muslim Indonesia.
Hari ini, kegiatan halalbihalal tidak hanya berupa bermaaf-maafan saja. Akan tetapi, masyarakat mampu membuatnya lebih nyaman dan humanis. Halalbihalal pun seringkali diiringi dengan nasihat keagamaan dan dilanjutkan dengan makan bersama.
Budaya sungkeman
Dalam kebudayaan Jawa, istilah sungkeman digunakan sebagai bentuk rasa hormat kepada orang tua dan simbol permintaan maaf. Hal serupa juga terjadi ketika halalbihalal. Masyarakat biasanya akan melakukan sungkem kepada orang tua sebagai tanda permintaan maaf mereka. Bahkan, tak sedikit orang yang meneteskan air mata ketika melakukan sungkeman.
Tradisi sungkeman dalam edisi lebaran ini sebenarnya sudah dilakukan pada masa Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaraan. Saat itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I beserta seluruh abdi dalem berkumpul dan saling bermaafan setelah melakukan salat Ied. Pada tahap pertama yang melakukan sungkem para istri dan putra dalem. Pada tahap kedua baru para sentana dan abdi dalem.
Bentuk dan pelaksanaannya pun relatif baku. Waktu itu, semua yang terlibat mengenakan pakaian Jawa resmi dan antre secara tertib. Lalu, Raja duduk di singgasana, dan yang melakukan sungkem duduk bersimpuh, melakukan sembah dan mengucapkan kalimat-kalimat tertentu yang sudah baku.
Hingga saat ini pun, budaya sungkeman masih menjadi tradisi halalbihalal yang tidak boleh ditinggalkan.
Penulis: Agus Salim I.