
Perempuan memiliki akar kata tersendiri. Namun, dalam perjalanannya, kata ini mengalami degradesi semantis atau pejoratif dalam bahasa percakapan kita se hari-hari. Masyarakat tak terlalu menganggap penting penggunaan kata perempuan, wanita, atau bahkan cewek dalam ruang publik kita. Padahal, penggunakan tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda. Hal itulah yang banyak digugat oleh aktivis perempuan dari masa ke masa.
Perempuan berasal dari kata per-empu-an yang memliki arti ahli atau mampu. Sedangkan, wanita berasal dari bahasa Jawa, yaitu “wani ditata”, yang berarti “orang yang bisa diatur”. Ini menisbatkan hakikat kaum hawa dalam kehidupan bermasyarakat kita hanya jadi hiasan, atau yang dihias; aksesoris semata. Akar kata cewek malah lebih menghinakan kembali, dan tidak saya sebutkan dalam tulisan saya kali ini.
Meskipun struktur masyarakat patriarkal telah banyak ditentang, namun terjadi anomali. Kaum hawa dalam konteks kini, jarang memahami apa yang diperjuangkan oleh akitifis perempuan di kalangan mereka sendiri. Hal itu terlihat misalnya, dari perasaan merasa selalu lebih bawah kaum adam, dalam konsteks kepemimpinan, pekerjaan, da lain sebagainya. Itu yang menjelaskan pertanyaan mengapa, di kursi parlemen yang menyediakan kuota 30 persen untuk kaum hawa tidak pernah terpenuhi hingga kini.
lebih parahnya, tak sedikit dari kaum hawa yang mengamini posisinya yang hanya sebagai aksesoris semata. Hal itu diperlihatkan dari gaya hidupnya yang hanya memperindah diri untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Tentu, hal tersebut menyalahi dari perjuangan banyak aktivis perempuan dalam kancah lokal maupun internasional.
Budaya konsumtif yang tinggi hanya akan menghasilkan generasi pemboros atau Generasi haha hihi yang suka dengan hidup foya-foya. Kalau pencetak generasi bangsa saja seperti ini, Bagaimana dengan nasib bangsa Indonesia ke depan? Apakah masa depan bangsa bisa dititipkan kepada generasi yang begitu? Ironis!
Memang betul, manusia itu memiliki sifat alamiah yang tidak pernah merasa puas, terutama perempuan. Sifat itu lah yang menyebabkan budaya hedonisme dan konsumerisme semakin meningkat. Tidak hanya itu, gaya hidup perempuan yang demikian juga bisa dipengaruh oleh lingkungan sekitar. Misalnya, ia berada di kalangan orang-orang elite, kemungkinan besar ia terbawa arus hidup yang hedonis tersebut. Apalagi kalau orang itu tidak bisa mengontrol diri.
Sebagai seorang perempuan, apalagi kalau mengingat sosok ibu sebagai madrasatu al-uula, maka perempuan harus didesain sebaik mungkin. Oleh karena itu, jadilah perempuan yang pandai mengendalikan diri. Sosok yang memiliki prinsip dan pendirian yang kuat. Sehingga ia tidak mudah terombang-ambing oleh arus kehidupan yang penuh dengan nuansa hedonisme. Janganlah menjadi perempuan generasi penikmat yang hanya ingin enak dan senangnya saja, tapi juga harus menjadi seorang pejuang yang prihatin.
Selamat hari perempuan internasional.
Penulis: Atikah Nur Azzah Fauziyyah