Menjelang kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) pada 17 April mendatang, atmosfir perpolitikan nasional semakin mencapai titik didih. Beragam kecurangan perlahan memanas dan naik ke permukaan memperebutkan kemenangan.
Ya, money politik atau yang biasa disebut vote buying masih menjadi salah satu komoditi yang laris di pasaran. Setiap menyongsong pesta demokrasi, ancaman ini seolah tak pernah absen dari perbincangan publik.
Bagaimana tidak, para kelompok pemenangan dengan mudahnya membeli suara masyarakat. Di lain pihak, masyarakat dengan senang hati menerima sesuatu yang mereka anggap bermanfaat. Tak ayal, hubungan simbiosis parasitisme pun berjaya di sebagian tatanan masyarakat.
Bukan suatu rahasia lagi, hajatan demokrasi lima tahunan sekali ini masih menempatkan finasial sebagai faktor dominan menentukan terpilihnya suatu pasangan kandidat.
Kapasitas dan kapabilitas pasangan calon pun mulai dikesampingkan. Visi, misi, dan program yang seharusnya menjadi kekuatan utama, justru terkapar dalam pusaran kekuatan uang.
Praktik semacam ini sebenarnya sudah tumbuh sejak pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Kala itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan salah satu partai tertua di Indonesia, membagikan sejumlah uang kepada tokoh-tokoh pada tingkat lokal agar bisa memenangkan pemilu.
Meski sempat mengalami pasang surut, nyatanya praktek semacam ini tak pernah bosan menyambangi masyarakat. Undang-undang nomor 10 tahun 2016 pasal 187A pun seakan tak mampu menghalangi kutukan money politik.
Berkaca pada budaya lama bangsa Indonesia, agaknya praktek memberi uang (baca: money politik) bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Ya, kebiasaan tersebut telah ada sejak orde lama berkuasa. Tak pelak, perbuatan semacam ini pun dianggap sebagai aksioma yang mendarah daging.
Hari ini, praktek money politik tidak lagi terpaku pada sekarung dana. Pemenuhan berbagai kebutuhan pokok seperti sembako, menjadi segmentasi baru elite politik dalam membeli suara masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kebobrokan dalam berdemokrasi kita tetap berlangsung?
Nalar Machiavelis
Banyak faktor mengapa praktek ini masih beroprasi sampai hari ini. Mulai dari, gagalnya pendidikan politik di Masyarakat kita, regulasi, hukum, masyarakat miskin, kebudayaan permisif dsb.
Niccolò Machiavelli mendefinisikan alasan mengapa para politisi melakukan hal instan berusaha mati matian dengan cara yang tidak wajar, tak hayal menghalalkan segala cara demi mencapai ambisi politiknya.
Secara garis besar syarat seorang yang ingin berkuasa haruslah menggunakan tipu muslihat, memainkan trik licik dan dusta, para penguasa meski mempelajari sifat yang terpuji di sisi lain ia harus berani melakukan tindakan yang bengis, keji, khianat dan kejam asalkan demi kebaikan untuk Negara dan kekuasaanya. (Il Principe, 1532).
Apa yang dikatakan Machaveli agak benar terjadi di negeri ini. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah, kebaikan seperti apakah yang akan dihasilkan oleh politisi yang demikian?
Jika siklus money politik dalam setiap sistem pemilihan demokrasi masih diartikan suatu usaha politisi untuk merebut kepercayaan dan mempertahankan hak kekuasaan dengan membuat narsi narasi licik, membeli suara (vote buying) demi tercapainya tujuan kemenangan politik, meskipun tindakan itu menciderai hukum demokrasi bernegara kita.
Pada akhirnya Pemilu hanyalah sebatas konsep yang berjalan sebagai urusan prosedural dan bagi-bagi kursi rejeki. Politik semacam ini hanya menjadikan rakyat sebagai objek penguasaan dan menempatkan posisi kekuasaan sebagai tujuan utamanya. Mau tidak mau, politik semacam ini akan membawa kita pada stagnasi dan makin tergerusnya kualitas kehidupan sosial.
Pemilu lima tahunan seharusnya melahirkan dunia baru tempat rakyat merdeka, kekuasaan harus digunakan untuk meneggakan keadilan dan kebaikan bersama. Mewujudkan masyarakat sejahtera, tanpa pengisapan dan ketidakadilan.
Penulis: Ibnu A.