Menjelang perhelatan Pilkada, ratusan Calon Bupati atau Walikota dari berbagai daerah sudah mulai melakukan kampanye. Mereka ini memiliki berbagai strategi untuk menarik perhatian suara pemilih.
Karena tidak bisa melakukan blusukan untuk berinteraksi dengan warga di daerah pemilihannya, pemasangan spanduk dan baliho di sepanjang jalan atau di tempat-tempat strategis menjadi salah satu cara yang dianggap ampuh untuk menarik perhatian masyarakat.
Banyak slogan, visi, dan janji politik yang memenuhi sepanjang jalan. Di kota-kota, di desa-desa, di semua tempat yang dihuni manusia Indonesia.
Bayangkan saja, ketika saya hendak datang ke kampus dari Kendal sampai Semarang, di sepanjang perjalanan terpampang spanduk dan baliho-baliho kampanye mulai dari yang kecil sampe yang paling besar. Para calon Bupati dan Walikota sangat bersemangat “menjual dirinya” dengan melihatkan foto-foto terbaiknya sampe mengunakan slogan manis dan janji-janji yang tak logis.
Seperti salah satu caleg yang mempunyai slogan “Kalau dulu memang zamanya Suharto, tapi sekarang masanya Suharti”. Caleg ini seolah-olah menyamakan dirinya dengan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto.
Dia mengunakan nama Soeharto untuk menjual dirinya kepada masyarakat, tidak bisa dipungkiri lagi Soeharto memang salah satu Presiden yang mempunyai banyak prestasi saat memimpin. Jasanya atas pembangunan negara kita sangat pesat sehingga beliau dijuluki bapak pembangunan, tapi kita harus ingat banyak juga kesalahan atau kejelekan yang dilakukan presiden kedua kita itu seperti Diktator, kasus penculikan dan korupsi.
Ada lagi caleg yang mempunyai slogan ”Papanya Cyintia Lamusu Nih!!!” begitu kira-kira. Dia dengan pede-nya mengunakan slogan tersebut sambil menambah foto anaknya yang seksi dengan baju yang terbuka di samping fotonya. Dia mengira masyarakat akan memilihnya karena anaknya yang cantik dan seksi. konyol!. Lalu, tak ketinggalan caleg yang lain memasang foto dirinya terbalik 180 derajat. Seolah sang caleg ingin menyampaikan pesan bahwa, jika ia terpilih siap jungkir balik untuk kepentingan rakyat.
Dalam demokrasi hal tersebut tentu tidak salah. Kampanye politik, dibolehkan dan sudah diatur oleh pemerintah. Namun, entah mengapa, kampanye hari ini hanya terasa seperti peperangan slogan.
Fonema lain yang masih marak adalah umbaran janji politik yang tidak logis, lebih dari itu, janji yang diberikan bukan untuk dipenuhi. Namun, hanya sebatas cara mendulang suara dan mampu melewati ambang batas minimal yang sudah ditetapkan (presidentialtreshold).
Saya jadi teringat apa yang diungkapkan politisi Uni Soviet, Nikita Khushchev (1894-1971)1894-1971). Katanya, “Politisi itu semua sama, mereka menjanjikan membangun jembatan meskipun tidak ada sungai di sana”.
Dan ungkapan Jendral Prancis, Charles de gaulle (1890-1970), “Politisi tidak percaya pada ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka terkejut saat rakyat mempercayainya”.
Pada intinya itulah politisi, itulah caleg. Ada agenda janji yang harus dibuat untuk rakyat. Dan rakyat, mau atau pun tidak dipaksa untuk mendengarkan hal itu.
Penulis: M. Shafril