Tempo hari, disela diskusi di warung kopi, ada teman saya yang mengajukan seutas pertanyaan tentang “sebuah tulisan yang hidup”. Saya tertegun. Bukan mengenai pertanyaan yang ia ajukan, namun seberapa gigih ia belajar menulis tulisan fiksi. Berulang kali, ia mengirimkan tulisan dan selalu tertolak di berbagai media.
Saya tak tahu apakah ini menjawab pertanyaan atau tidak. Tapi, dalam menulis fiksi (cerpen maupun novel) saya selalu percaya bahwa inti sebuah cerita yang menarik adalah pergerakan, seperti yang saya ingat ketika belajar dari Eka Kurniawan, sastrawan Indonesia yang telah melahirkan banyak karya.
Dari Eka, saya belajar banyak hal termasuk membuat ‘pergerakan’ dalam sebuah tulisan fiksi. Banyak hal yang bisa dibuat bergerak. Peristiwa satu bergerak ke peristiwa lain. Tokoh satu bergerak secara fisik dari satu tempat ke tempat lain. Pemikiran orang bergerak dari satu hal ke hal lain. Bentuk tulisan naratif merupakan tulang punggung cerita, karena ia mengendalikan pergerakan ini.
Saya ingin kasih contoh:
Saya melihat ular berkepala dua. Saya melihatnya di tengah pasar, di antara dua kotak sayuran. Ular itu panjangnya sekitar satu meter, dengan hitam yang menyerupai jelaga. Saat itu pasar sedang ramai. Pembeli bergerombol di tiap-tiap kios penjual. Di atas kotak bekas sayur ada seorang bayi tertidur lelap, beralaskan lipatan kain. Mungkin anak si penjual. Sementara itu, sayur-mayur bertumpuk di sisi kios-kios. Ular itu mungkin terbawa dari ikatan sayuran. Tak ada yang tahu ada ular hitam karena mereka sibuk. Cuma aku yang melihatnya.
Bergerak? Saya rasa tidak. Paragraf itu lebih merupakan deskripsi daripada narasi. Kalau hanya satu paragraf seperti itu, kita bisa menanggungnya. Akan tetapi, bayangkan jika beberapa paragraf seperti itu, atau bahkan beberapa halaman. Saya pun akan cenderung meletakkan tulisan itu, sebelum rasa bosan menyergap.
Sekarang bayangkan dengan paragraf seperti ini:
Di tengah kesibukan pasar, aku melihat seekor ular hitam berkepala dua. Ia keluar dari sebuah tumpukan sayur di sisi kios. Aku terkejut, ular itu juga sama terkejut mendapatkan dirinya di tengah keriuhan. Aku berteriak, orang-orang menoleh dan segera sadar dengan kejadian tersebut. Terdengar jeritan dan dan mereka melompat kalang kabut menghindar. Si ular menyelinap kembali ke balik tumpukan sayur, dan muncul di kotak tempat seorang bayi tengah tidur. Ia masuk ke kotak itu, si bayi terbangun dan menangis keras.
Di contoh kedua, peristiwa itu bergerak dari satu peristiwa lain. Terjadi rentetan sebab akibat, dan ini juga memungkinkan terjadinya suspens (apa yang akan terjadi? Kenapa sesuatu terjadi?).
Terkadang, memang diperlukan deskripsi yang “tidak bergerak” itu. Misalnya ketika kita sedang bercerita, melompat dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Tulisan seperti ini ada kalanya membuat pembaca capek.
Jika tidak bergerak, beresiko membuat kita bosan, bergerak juga bisa membuat kita lelah. Penggunaan deskripsi di sini, bertujuan untuk membuat jeda, atau semacam tempat istirahat.
Meskipun begitu, deskripsi yang panjang dan statis, besar kemungkinan akan membuat kita bosan. Bahkan, akan membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya tulisan ini menceritakan apa sih? Karena itu kita juga bisa membuat ilusi gerak pada deskripsi yang sebenarnya statis. Ini berguna untuk meredam tempo, tanpa harus benar-benar berhenti.
Lihat contoh tulisan berikut:
Ada seorang bayi tidur lelap di kotak bekas sayuran, berselimut kain. Tak jauh darinya, barangkali ibunya, sibuk melayani pembeli. Di seberangnya, pembeli lain berjejeran, berbagi tempat dengan tumpukan tomat dan wortel. Sementara, di tempatku berdiri, aku melihat seekor ular hitam berkepala dua mendesis tak jauh dari si bayi.
Pada dasarnya, contoh ketiga ini lebih banyak mendeskripsikan sesuatu. Tapi ia memberi ilusi gerak berupa gerakan kamera, seolah pembaca diajak menoleh ke sana ke mari. Ada kesinambungan dengan memanfaatkan ungkapan-ungkapan serupa “tak jauh darinya”, “diseberangnya”, dan “dari tempatku”.
Saya belajar itu dari pengalaman membaca tulisan orang, yang sebenarnya seringkali berguna ketika saya menulis fiksi.
Menggunakan kata kerja dan menghindari kata sifat, adalah nasihat kuno yang sering kita dengar, tapi tetap relevan. Sebab kata kerja bisa memberi gerak.
Penulis: Mohammad Azzam