Setelah ratusan ribu muslim tumpah ruah di Arafah, pada 10 Dzulhijah mereka akan ke Mina untuk melempar jumrah. Hal ini adalah rangkaian yang tak dapat terpisahkan dalam ibadah haji yang muaranya adalah mendekatkan diri pada sang pencipta.
Menelisik ke tempat lain di berbagai belahan dunia, bagi muslim yang tidak sedang melaksanakan haji 10 Dzulhijah tetap sama kultusnya. Mereka akan melakukan serangkaian adat masing-masing untuk melaksanakan Salat Ied kemudian menyembelih hewan kurban pada hari itu.
Di Indonesia sendiri, Salat Ied dilaksanakan sekitar pukul 07.00 hingga 08.00 yang berarti, orang-orang di pagi buta akan berpakaian rapi dan menuju masjid untuk mendapatkan shaf terbaik baginya. Hakikatnya sama dengan mereka yang pergi ke tanah suci, yaitu hati yang senantiasa ingin dekat dengan Yang Maha Pengasih.
Perihal berkurban menurut beberapa ulama, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’I, Ibnu Hazm adalah perkara sunah muakadah. Yaitu sebuah sunah yang dianjurkan atau ditekankan. Pendapat ini berdasarkan dari dalil riwayat Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berkurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu ku lakukan karena kau khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira berkurban itu adalah wajib bagiku.”(HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi)
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa berkurban adalah perkara wajib bagi orang-orang yang mampu. Rabi’ah, Al Auza’I, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan demikian. Hadits Abu Hurairah menyatakan Rasullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami,”(HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Terlepas dari perbedaan pendapat ini, setiap ibadah yang dilakukan pada dasarnya tidak dapat hanya dimaknai secara tampak. Salah satunya adalah perkara berkurban. Karena setiap daging hewan kurban yang telah disembelih merupakan keberkahan yang akan dirasakan banyak orang.
Tidak hanya menjadikan kebahagiaan antar sesama manusia. Berkurban juga akan menjadikan kebahagiaan bagi seorang hamba. Sesuai dengan tujuannya, bahwa kurban adalah melaksanakan perintah agama. Kepatuhan terhadap perintah ini menjadikan hamba lebih dekat dengan penciptanya. Selain itu, dengan pengurbanan, akan menumbuhkan semangat untuk berbagi dan menolong sesama yang membutuhkan.
Melatih keikhlasan
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, patutlah menjadi sebuah awal manifestasi rasa ikhlas seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Ya, melalui sebuah mimpi, Nabi Ibrahim harus mendapati ujian yang berat. Bagaimana tidak, ia harus rela menggoreskan pedang ke leher anaknya sendiri.
Sikap ikhlas Nabi Ibrahim beserta keluarganya menjadi bukti ketaatan luar biasa terhadap Allah. Barangkali, jika Ismail bukan anak yang mempunyai ketaatan besar, sudah pasti ia akan menolak. Namun, ketaatan mereka memang patut kita jadikan sebagai pelajaran. Melihat keikhlasan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam menjalankan perintah-Nya, Allah lalu menggantikan Nabi Ismail dengan seekor domba.
Dari kisah di atas, mengajarkan tentang ujian keimanan dan keikhlasan seseorang untuk mengorbankan sesuatu yang sangat berharga. Sebagai manusia biasa, terkadang kita masih terlalu sulit mengikhlaskan hal berharga yang kita miliki. Cara pandang kita pun masih terjebak dalam realitas semu, seringkali salah mengartikan tentang hakikat pengurbanan.
Terlepas dari bagaimana seseorang dapat mengusahakan dirinya memiliki kemampuan berkurban, pada hakikatnya seluruh ibadah tidak lain adalah sebuah pembuktian ketakwaan kita. Dari sini, sudahkah kita berhasil memaknai hakikat berkurban?
Penulis: Iin EW