
Ada yang menarik jika kita membicarakan soal ketakutan dan harapan. Keduanya adalah dua hal yang bertolak belakang. Rasa takut adalah emosi negatif yang lahir dari bayangan tentang harapan yang tak bisa dicapai. Sementara, harapan adalah manifestasi emosi positif yang tak selamanya muncul setelah pertaruhan melawan rasa takut.
Ketakutan berawal dari penjajahan pikiran. Ya, setiap orang pasti punya masalah. Yang membedakan adalah kadar rasa takut masing-masing terhadap apa yang dirasa dan dipikiran. Takut kehilangan jabatan, takut akan masa depan, atau bahkan takut kehilangan kepercayaan. Dari ketakutan itulah, banyak orang yang pada akhirnya hancur oleh besarnya rasa takut yang diciptakannya sendiri.
Rasa takut yang berlebih pada hakikatnya muncul dari perasaan dan pikiran. Ia bersemayam dalam diri yang mewujud semacam berhala. Watak dari berhala adalah selalu ingin disembah dan dipuji. Saat rasa takut itu muncul, saat itu pula kita sedang menyembah berhala. Semakin besar rasa takut kita, semakin besar pula berhala dalam diri kita. Berhala ketakutan tersebut akan membesar atau mengecil tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Namun, rasa takut yang selalu diperihara akan berbahaya bagi kepribadian yang menjadi tidak seimbang. Disadari atau tidak, orang dengan tingkat ketakutan tinggi akan memunculkan perilaku yang khas.
Kita tentu sering melihat orang-orang berteriak histeris saat berada dalam kegelapan, atau lampu rumah tiba-tiba padam. Kita juga tentu sering mendengar teriakan orang yang takut akan kecoa.
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya, Ihya Ulumiddin, mengajarkan secara apik bagaimana membentuk jiwa yang seimbang (i’tidal). Untuk menjadi pribadi seimbang (equilibrium), termasuk di dalamnya tidak takut terhadap hal-hal duniawi dengan cara mengembangkan prinsip-prinsip kebaikan (ummahat al-fadlail). Berlebihnya rasa takut adalah gangguan jiwa yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan fungsi-fungsi psikis.
Kita tahu jiwa yang sehat adalah jiwa yang bebas dari rasa takut berlebih. Ia dapat dibentuk dengan menyeimbangkan dua kutub bipolar. Dua kutub yang cenderung berlebihan atau eksesif (ifrat) dengan kutub yang cenderung defisiensif (tafrit) yang saling bertentangan, sehingga lahir sikap dan perilaku yang seimbang. Namun, untuk menyeimbangkan itu tentu dibutuhkan latihan-latihan.
Harapan sebagai jawaban
Jika dalam kehidupan sehari-hari kita terselimuti oleh rasa takut, maka harapan bisa jadi jawaban akan ketakutan itu. Kita mungkin paham jika ketakutan dan harapan tidak akan pernah berada dalam satu linier. Akan tetapi, dalam satu kondisi harapan adalah jawaban pasti dari ketakutan.
Dalam kajian teologi, ketakutan akan masa depan yang belum pasti akan membawa seseorang mengalihkan harapan kepada sang pencipta. Kata anak zaman sekarang,
“berharap kepada manusia dan dunia hanya akan menimbulkan rasa sakit, lebih baik berharap kepada sang pencipta”
Yonky Karman dalam tulisan berjudul “Membangun Masa Depan Bersama: Sebuah Tinjauan Apokaliptik Perjanjian Lama” memperlihatkan dilema ketakutan dan harapan yang ada pada manusia. Kita telah memahami jika harapan yang digantungkan secara berlebihan akan membawa manusia pada jurang keputusasaan. Namun, dalam dunia apokaliptik hal itu tidak berlaku.
Apokaliptik adalah wawasan tentang keagamaan yang berbasis pada perenungan mengenai “hal-hal akhir” atau perenungan tentang sebuah penghakiman di masa depan (Russel, 1993).
Pemahaman tentang apokaliptik akan membawa kita pada pemahaman menyikapi masa kini untuk memahami masa depan melalui aspek teologi. Pemahaman tentang apokaliptik juga akan membawa perubahan sikap dan perilaku kita menjadi lebih berhati-hati dalam setiap langkah.
Akan tetapi, untuk menuju pemahaman apokaliptik diperlukan kesadaran dan tanpa paksaan. Sebab, kadar keimananlah yang akan membawa kita pada pemahaman apokaliptik.
Penulis: Agus Salim I