
“Seorang khusyu’ tapi bodoh itu bahaya.
Ibadah justru bisa melayani nafsu belaka.”
Menanjaknya gairah pengamalan ajaran Islam di Indonesia dewasa ini justru dibarengi dengan pendangkalan pengetahuan keislaman. Islam dianjurkan dengan pemahaman yang sempit dan biasa. Kompleksitas dan universilatas ajaran Islam diperas menjadi praktik-praktik keagamaan identik dengan nalar keseragaman.
Kiranya “yang biasa”, “rata-rata”, atau “tengah-tengah” itu disebut mediokritas. Ialah oposisi dari tradisi berpikir mendalam. Antropologi melabelinya sebagai kebalikan dari budaya tinggi.
Ini adalah kultur di mana kelompok-kelompok melanggangkan inferioritas pemikiran. Kelanggengan ini terus terjaga karena pemikiran di kalangan medioker dirasa nyaman untuk gaya hidup mereka.
Kompleksitas dan universalitas ajaran Islam diperas menjadi identitas khas sesuai spirit komunitas. Pandangan terhadap liyan menjadi serba hitam-putih. Pemikiran keagamaan cenderung mengeksklusi kelompok lain.
Media dan Pasar: Popularisme-Populisme
Kehadiran teknologi informasi dewasa ini, khususnya media sosial, membentuk iklim berislam dalam nuansa popularisme. Islam dikonstruksi bercitarasa rendah yang kemudian dibentuk menjadi selera massa. Suksesor terbesar dari agenda popularisme Islam adalah para “pemodal” yang menguasai kanal informasi baik di media sosial maupun media massa.
Munculnya idiom-idiom khusus seperti hijrah, kaffah, syar’i, antiriba, dsj mengindikasikan gejala mediokritas dalam memahami Islam. Idiom-idiom tersebut merupakan ilustrasi dari suatu ekspresi kalangan muslim yang semangat berislamnya menggebu.
Orang memakai jilbab menyebut dirinya hijrah. Orang istiqomah mengaji di youtube menyebut jalannya menuju kaffah. Cukup dengan begitu dia bisa melakukan bullying dan judging terhadap teman-temannya yang dipandang “belum hijrah”.
Seturut itu pemandangan atas sistem sosial menjadi berubah. Negara dan pemerintah dipandang taghut. Lembaga-lembaga negara dipandang bekerja dengan jalan penuh aniaya kepada publik. Lembaga-lembaga keuangan dipandang lumbung riba.
Pada suasana sedemikian, media pun bekerja dalam pola performatifitas yang intens. Pemahaman keagamaan yang pas-pasan dihadirkan terus-menerus kepada publik. Dai bercorak “ustadz kaleng-kaleng” dipromosikan hingga publik media akrab. Kebenaran terbentuk dari keacapan kehadiran konten-konten yang berkualitas rata-rata itu.
Bersamaan dengan itu, gejala populisme Islam muncul. Ia hadir kentara dalam idiom-idiom pembela islam, pembela agama, jihad fi sabilillah. Kolaborasi antara kepentingan politik, kapitalisme, dan idealis-militan telah menyuburkan populisme Islam yang selalu hendak mengatakan segala gerak-tindakan adalah demi Islam.
Kita patut curiga di balik gerakan popularisme dan populisme Islam itu tersulubung beragam agenda. Mulai dari agenda pasar kapital hingga kepentingan politik, juga para pembonceng yang diuntungkan: islamis militan.
Wallahu a’lam!
Penulis: Musyafak
(Staf di Balai Litbang Agama Semarang)