
Semarang, Amanat.id – Masjid Layur atau yang lebih dikenal dengan nama masjid Menara Kampung Melayu, merupakan salah satu cagar budaya di kota Semarang. Letaknya yang berada di pesisir Semarang Utara seakan menjadi saksi perjalanan perdagangan yang tertua di Semarang.
Tepat di gerbang masuk masjid berdiri kukuh menara yang menjulang tinggi berwarna putih, sebagai tempat pengeras suara atau penyeru saat azan berkumandang.
Dulunya menara itu sebuah mercusuar, digunakan sebagai tempat melihat kapal dan perahu yang hendak beroperasi di pelabuhan. Kebaradaan itu semakin meyakinkan dengan adanya sungai Berok (kali Semarang) di sisi timur masjid. Konon, sungai itulah yang menjadi jalur transportasi penting di masa kolonial Belanda.
Menurut Abu Bakar ketua pengurus masjid periode 2001- 2015, masjid Layur didirikan pada tahun 1802 oleh para pedagang dari Yaman. Namun sebelum masjid itu berdiri, kawasan Layur merupakan area pelabuhan. Hingga laju pelayaran dipindah ke muara Kali Baru, kemudian mercusuar tidak digunakan. Munculah inisiatif membangun masjid.
Kedatangan para pedagang itu juga merubah kawasan Layur menjadi ladang bisnis. Banyak dari mereka kemudian menetap dan menikah dengan warga setempat. Karena saat itu letak masjid relatif jauh, para pedagang bergotong royong dengan warga membangun masjid. Dengan tujuan agar masjid bisa digunakan sebagai pusat kegiatan keagamaan masyarakat.
“Sekarang untuk panggilan salat. Dulu untuk melihat kapal-kapal dari luar Jawa, dari Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya. Ya itu, sebagai mercusuar,” terangnya saat ditemui kru Amanat.id, Senin (26/11/2018).
Meski demikian, menara yang digunakan untuk melantunkan azan itu masih tempak jelas seperti mercusuar. Hanya fungsinya saja yang tidak lagi menyoroti kapal-kapal yang hendak menepi di pelabuhan.
Akulturasi tiga kebudayaan
Masjid Menara Kampung Melayu yang terletak di jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, juga menjadi masjid tertua ke tiga di Semarang, setelah masjid Agung Kauman dan masjid Jami Pekojan.

Dengan keunikan bangunannya yang khas itu, diangkatlah masjid Layur oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai bangunan Cagar Budaya Nasional. Selama dua abad, bangunan dengan akulturasi corak Arab, Eropa dan Jawa, tetap terjaga hingga sekarang.
Abu Bakar mengatakan, Masjid Layur memiliki corak yang unik. Konsep arsitektur masjid menggabungkan corak Arab, Eropa dan Jawa. Kubah menandakan budaya Arab, lengkungan-lengkungan bermodel Eropa dan atapnya berbentuk limas tiga tingkat khas Jawa.
“Maksudnya corak Arab itu bangunan khas Islami yang ada Timur Tengah. Kalalu corak Eropa itu lebih spesifik gaya Belanda,” jelasnya.
Di Layur masjid ini cukup terlihat mencolok, sebab warnanya yang hijau membuat masjid Layur terlihat berbeda dengan bangunan di sekitarnya.
Daun pintu dan jendela besar masjid Layur bermotif arabesque, seni ornamen Islam dengan bentuk dekorasi artistik berdasarkan pola linier bergulir dan berirama. Kemudian ditambah arsitektur tradisional Jawa atap limas bersusun tiga, yang mempunyai arti filosofi iman, Islam dan ikhsan.
Abu Bakar menjelaskan, masjid Layur telah mengalami beberapa kali renovasi. Tahun 2006 merupakan renovasi terbesar, karena saat itu masjid Layur mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 200 juta.
Kemudian dana itu oleh pengurus, digunakan untuk memperbaiki plafon, mengganti atap sirap dan menambahkan ruang untuk tempat salat jemaah perempuan.
“Renovasi yang dilakukan tidak merubah bentuk masjid. Ukuran dan ornamen-ornamennya masih utuh seperti saat dibangun,” katanya.
Mengenai tempat salat untuk jemaah perempuan, Abu Bakar menjelaskan, sejak berdirinya masjid Layur memang diperuntukan untuk jemaah laki-laki. Tapi saat mendapat bantuan itu, pengurus masjid menimbang-nimbang. Apalagi sering ada perempuan yang berkunjung ke masjid. Akhirnya, takmir dan pengurus yayasan sepakat membuat ruang salat khusus perempuan.
Sisi lain dari adanya masjid Layur ini, kebersamaan masyarakat di sekitar Layur begitu solid. Meski dari suku yang berbeda-beda, namun keberagaman tetap terjaga hingga hari ini.
“Kami hidup berdampingan. Klenteng utuh, gereja utuh dan masjid pun masih utuh,” jelasnya.
Penulis: Mohammad Azzam Ashari