Belakangan ini, beragam istilah baru seiring dengan perkembangan teknologi mulai mencuat ke permukaan. Salah satunya adalah cancel culture.
Istilah cancel culture merujuk pada sikap individu untuk berhenti memberikan dukungan pada perbuatan maupun karier seseorang. Budaya tersebut dilatarbelakangi adanya penyebaran aib atau keburukan yang pernah dilakukan oleh seseorang pada masa lalu ke media sosial agar diketahui oleh khalayak.
Menariknya, istilah cancel culture merupakan evolusi dari padanan ”boikot” yang lebih dulu dikenal masyarakat. Awal mula penggunaan istilah ini menyangkut kasus seorang pelaku pelecehan seksual Harvei Weinstein pada 2017 lalu, kemudian oleh khalayak disebarkan identitasnya sebagai bentuk sanksi sosial.
Melansir dari tirto.id, terminologi cancel culture berarti penolakan individu yang mengakibatkan pada pengucilan seseorang di ruang publik.
Singkatnya, cancel culture sebutan untuk budaya masyarakat dalam membuang citra baik seseorang di depan umum. Perilaku ini berujung pada rusaknya citra orang yang bersangkutan di mata publik. Terlebih, jika orang tersebut menjadi bagian dalam suatu instansi, nama baiknya akan tercoreng dan terancam tidak lagi dianggap oleh instansi tersebut.
Seperti yang terjadi di Twitter, kebebasan dalam mengutarakan pendapat justru berujung pada timbulnya perbedaan pandangan. Namun, perbedaan itulah yang tidak jarang menjadi sorotan sekelompok pengguna maya untuk melakukan aksi perundungan kepada orang yang berbeda karena dianggap “tidak sealiran”. Mereka kerap menggunakan akun anonim agar identitasnya tidak terungkap.
Cancel Culture dan Pelanggaran Privasi
Dewasa ini, cancel culture lebih banyak ditujukan kepada public figure yang mengalami skandal untuk membuat karier mereka menurun. Seperti kasus yang terjadi pada Johnny Depp mendapat perlakuan cancel culture akibat isu KDRT yang menyangkut dirinya terhadap istrinya, Amber Heard.
Lantas, membuat netizen ramai-ramai memboikot Depp agar tidak lagi mendapat kesempatan untuk tampil dalam acara televisi. Akan tetapi, kenyataan yang sebenarnya justru bahwa isu tersebut hanya tuduhan yang dilemparkan kepada Depp, hingga membuatnya merasa dirugikan.
Ini membuktikan bahwa tidak selamanya tren cancel culture menghadirkan kebaikan. Adakalanya kita perlu mengetahui dengan jelas isu yang bertebaran agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Meski demikian, tetap saja orang yang mengalami cancel culture akan merasa tertekan. Sebab ia merasa kehidupan pribadinya tidak lagi aman. Sikap warganet yang memiliki hobi mengulik kehidupan seseorang tentu akan sangat berefek pada korban. Di samping merupakan privasi, pun dirinya akan merasa terancam ketika bersosialisasi di ruang publik akibat perubahan citra buruknya oleh warganet.
Terlepas dari itu semua, seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa budaya pemboikotan sebagai upaya sanksi sosial kepada pelaku untuk menyadarkan atas perbuatan yang dilakukannya. Yang terpenting ialah akan lebih bijak apabila kita tidak asal mengikuti tren yang dilakukan warganet sebelum mengetahui secara jelas kebenaran dari suatu isu.
Penulis: Eva Salsabila A.