By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Amanat.idAmanat.idAmanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
  • Cerpen
  • Puisi
Reading: Maraknya Tren “Cancel Culture”; Seberapa Parahkah?
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Amanat.idAmanat.id
  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Advertorial
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Kontak
Search
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
Have an existing account? Sign In
Follow US
cancel culture
Ilustrasi Cancel Culture. (Pixabay)
ArtikelOpini

Maraknya Tren “Cancel Culture”; Seberapa Parahkah?

Last updated: 31 Oktober 2022 4:07 pm
Eva Salsabila Azzahra
Published: 31 Oktober 2022
Share
SHARE
cancel culture
Ilustrasi Cancel Culture. (Pixabay)

Belakangan ini, beragam istilah baru seiring dengan perkembangan teknologi mulai mencuat ke permukaan. Salah satunya adalah cancel culture.

Istilah cancel culture merujuk pada sikap individu untuk berhenti memberikan dukungan pada perbuatan maupun karier seseorang. Budaya tersebut dilatarbelakangi adanya penyebaran aib atau keburukan yang pernah dilakukan oleh seseorang pada masa lalu ke media sosial agar diketahui oleh khalayak.

Menariknya, istilah cancel culture merupakan evolusi dari padanan ”boikot” yang lebih dulu dikenal masyarakat. Awal mula penggunaan istilah ini menyangkut kasus seorang pelaku pelecehan seksual Harvei Weinstein pada 2017 lalu, kemudian oleh khalayak disebarkan identitasnya sebagai bentuk sanksi sosial.

Melansir dari tirto.id, terminologi cancel culture berarti penolakan individu yang mengakibatkan pada pengucilan seseorang di ruang publik.

Singkatnya, cancel culture sebutan untuk budaya masyarakat dalam membuang citra baik seseorang di depan umum. Perilaku ini berujung pada rusaknya citra orang yang bersangkutan di mata publik. Terlebih, jika orang tersebut menjadi bagian dalam suatu instansi, nama baiknya akan tercoreng dan terancam tidak lagi dianggap oleh instansi tersebut.

Seperti yang terjadi di Twitter, kebebasan dalam mengutarakan pendapat justru berujung pada timbulnya perbedaan pandangan. Namun, perbedaan itulah yang tidak jarang menjadi sorotan sekelompok pengguna maya untuk melakukan aksi perundungan kepada orang yang berbeda karena dianggap “tidak sealiran”. Mereka kerap menggunakan akun anonim agar identitasnya tidak terungkap.

Cancel Culture dan Pelanggaran Privasi

Dewasa ini, cancel culture lebih banyak ditujukan kepada public figure yang mengalami skandal untuk membuat karier mereka menurun. Seperti kasus yang terjadi pada Johnny Depp mendapat perlakuan cancel culture akibat isu KDRT yang menyangkut dirinya terhadap istrinya, Amber Heard.

Lantas, membuat netizen ramai-ramai memboikot Depp agar tidak lagi mendapat kesempatan untuk tampil dalam acara televisi. Akan tetapi, kenyataan yang sebenarnya justru bahwa isu tersebut hanya tuduhan yang dilemparkan kepada Depp, hingga membuatnya merasa dirugikan.

Ini membuktikan bahwa tidak selamanya tren cancel culture menghadirkan kebaikan. Adakalanya kita perlu mengetahui dengan jelas isu yang bertebaran agar tidak ada pihak yang dirugikan.

Meski demikian, tetap saja orang yang mengalami cancel culture akan merasa tertekan. Sebab ia merasa kehidupan pribadinya tidak lagi aman. Sikap warganet yang memiliki hobi mengulik kehidupan seseorang tentu akan sangat berefek pada korban. Di samping merupakan privasi, pun dirinya akan merasa terancam ketika bersosialisasi di ruang publik akibat perubahan citra buruknya oleh warganet.

Terlepas dari itu semua, seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa budaya pemboikotan sebagai upaya sanksi sosial kepada pelaku untuk menyadarkan atas perbuatan yang dilakukannya. Yang terpenting ialah akan lebih bijak apabila kita tidak asal mengikuti tren yang dilakukan warganet sebelum mengetahui secara jelas kebenaran dari suatu isu.

Penulis: Eva Salsabila A.

Konsumerisme Gaya Baru Mahasiswa, Selamat Jalan Aktivis
Kematian Penulis dan Era Baru Pembaca
Rokok dalam Lakon Kebudayaan
Menyulam Jerat Pikiran Sendiri
5 Karakter yang Harus Kamu Pahami Sebelum Jadi Relawan
TAGGED:cancel culturemedia sosialopini
Share This Article
Facebook Email Print

Follow US

Find US on Social Medias
FacebookLike
XFollow
YoutubeSubscribe
TelegramFollow

Weekly Newsletter

Subscribe to our newsletter to get our newest articles instantly!
[mc4wp_form]
Popular News
Varia Kampus

Adakan Talk Show Omnibus Law, SEMA FST Ajak Mahasiswa Buka Perspektif Baru

Shokhiful Fikri
12 Maret 2020
Muhibbin Ingin Orsenik 2017 Berjalan Tertib
Petani Sayur Cisarua; Harga Pupuk Melambung Hingga Cuaca Labil
Didampingi Tim Medis, Maba Penyandang Disabilitas Leluasa Ikuti Keseruan PBAK 2023
Ini Juara Turnamen Bola Voli POM Rayon I Jawa Tengah 2019
- Advertisement -
Ad imageAd image
Global Coronavirus Cases

Confirmed

0

Death

0

More Information:Covid-19 Statistics
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
  • Cerpen
  • Puisi
Reading: Maraknya Tren “Cancel Culture”; Seberapa Parahkah?
Share

Tentang Kami

SKM Amanat adalah media pers mahasiswa UIN Walisongo Semarang.

Kantor dan Redaksi

Kantor redaksi SKM Amanat berlokasi di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Lantai 1, Kampus III UIN Walisongo, Jalan Prof. Hamka, Ngaliyan, Kota Semarang, dengan kode pos 50185

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Advertorial
  • Kontak
Reading: Maraknya Tren “Cancel Culture”; Seberapa Parahkah?
Share
© Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?