Sinar mentari belum terasa panasnya pagi itu, ketika Ada Aniyati mulai memanasi motor Supra X 125 keluaran 2008 kesayangannya. Usai berpakaian rapi, lengkap dengan mengenakan helm dan masker, dia mengecek kembali barang bawaan di bahu dan dompetnya. Yakin tak ada yang tertinggal, Ada biasa disapa, perlahan mengendarai motornya dengan laju rata-rata 60 km/ jam.
Ada Aniyati adalah mahasiswi prodi Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi (FST) yang setiap kuliah melaju dari rumahnya di Dukuh Jamus RT 13/4, Mranggen, Demak. Butuh waktu sekitar 60 menit untuk dia, sampai di UIN Walisongo. Untuk itu, Ada biasa berangkat pukul 05.50 WIB, kala mendapati jadwal kuliah pertama pukul 07.00 WIB. Hal itu ia lakukan agar terhindar dari macetnya jalan kota dan masuk kelas tepat waktu.
Namun, sesampai di kampus ia mendapati pemandangan kurang menyenangkan. Mukanya masam. Ia harus bergabung bersama mahasiswa lain untuk mengantre di depan kampus II yang sudah terpasang barrier gate.
Mahasiswa kelahiran 1996 ini masih ingat betul, pada awal penerapan sistem barrier gate ia pernah mengantre sampai di depan foto copy moncer atau berjarak 100 meter dari gerbang kampus II.
“Harus sabar dan agak jengkel juga kalau lama mengantre. Belum lagi pasti telat masuk kelasnya,” keluh Ada.
Sistem barrier gate pertama kali diuji cobakan pada 3 Maret 2018 di kampus I. Lalu, Sejak diberlakukan di kampus II dan III pada medio Juli 2018, menjularnya antrean di gerbang masuk dan keluar menjadi pemandangan yang lazim terlihat.
Munculnya sistem barrier gate di UIN Walisongo merupakan respon atas maraknya kasus pencurian motor (curanmor). Dari data yang dihimpun Tim Buletin Amanat, sepanjang April s.d November 2017 terjadi enam kali kasus curanmor di UIN Walisongo. Tiga kali di kampus I dan tiga kali di kampus III.
Komandan Satuan Pengaman (Satpam) UIN Walisongo Sutarman mengatakan, adanya barrier gate merupakan suatu perubahan dan perkembangan ke arah yang lebih baik. Menurutnya, barrier gate tersebut dibangun dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sehingga tingkat keamanan lebih terjamin.
“Setiap menuju ke arah perubahan pasti ada dampaknya, baik posistif maupun negatif. Jangan hanya dipandang dari sisi negatifnya saja,” katanya, Senin (25/6/2018).
Parkir berbayar
Tercatat, kini ada tujuh barrier gate yang tersebar di Kampus I, II, da III. Sejak pertama kali diujicobakan sekitar delapan bulan, sistem ini tidak memungut biaya dari pengguna. Namun, Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 136 Tahun 2018 menjadi titik awal perubahan.
SK itu menjelaskan pada 8 Oktober 2018 siapa pun yang masuk kampus UIN Walisongo tanpa menggunakan kartu parkir dikenakan tarif. Untuk kendaraan roda dua Rp 1.000, sedangkan untuk kendaraan roda empat Rp 3.000. Lalu, bagi yang kehilangan tiket parkir yang didapat ketika masuk, maka, dapat diganti dengan menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), namun dikenai denda Rp 5.000 untuk motor dan Rp 10.000 untuk mobil.
“Ini kebijakan yang memang sudah ditentukan oleh pimpinan. Dalam kebijakan itu jelas bahwa warga UIN tidak membayar, sedangkan warga non-UIN harus membayar. Ini sudah tidak bisa kita tolak,” jelas Kepala Biro Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan (AUPK) Priyono saat di temui reporter Amanat, Rabu (12/12/2018).
Tak pelak kebijakan ini lantas menimbulkan pro dan kontra oleh civitas akademik di UIN Walisongo. Gugatan muncul dari aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mimbar Muhammad Shidiq Muafi. Dia menilai, meskipun barrier gate terbukti mampu meminimalisir kasus curanmor, tetap saja ada permasalahan baru yang ditimbulkan. Kemacetan, sistem yang sering error, pembatasan kegiatan aktivis UKM adalah di antaranya.
Penerapan sistem parkir berbayar, lanjut Shidiq, semakin merepotkan mahasiswa. Ia mengandaikan mahasiswa yang laju dari Genuk kemudian kartu parkir lupa tidak dibawa, juga terpaksa harus membayar. Tidak hanya itu, setiap kali UKM-nya mengadakan acara, tentu tamu undangan tidak hanya dari kalangan UIN Walisongo, namun juga melibatkan pihak luar.
“Mereka tamu, tapi kok suruh bayar,” kesal mahasiswa Hukum Pidana Politik Islam itu, Kamis (15/11/2018).
Mahasiswa asal Rembang ini bercerita, sebelum pemberlakuan barier gate, gerbang kampus buka hingga pukul 23.00 WIB, namun kini, pukul 22.00 WIB sudah ditutup. Tentu, kata Shidiq, hal ini membatasi kegiatan aktivis UKM.
“Dulu dalam penggarapan naskah kami bisa melakukakan dua sampai tiga kali tapi kini hanya bisa sekali. Seolah-olah anggota badan kami dipreteli sedikit demi sedikit,” ungkapnya saat ditemui di Kantor UKM Teater Mimbar.
Muafi hanya bisa berharap supaya Birokrasi kampus memikirkan terlebih dahulu setiap membuat kebijakan.
“Mereka tidak merasakan yang terjadi di lapangan,” katanya.
Reporter: Agus Salim I.