Manusia adalah makhluk yang berpikir. Berbekal akal, manusia akan memikirkan banyak hal. Tentang kehidupan dan kematian, tentang masa lalu dan masa depan, tentang diri sendiri dan orang lain, tentang sejarah dan teknologi, tentang apa pun. Namun, sebagian dari manusia akan kehilangan kontrol diri saat ‘berpikir’ sehingga memikirkan hal-hal sederhana secara rumit dan berlebih. Atau kita biasa menyebutnya overthinking.
Overthinking berawal dari persepsi keliru mengenai suatu hal yang sudah, sedang, maupun belum terjadi. Kekeliruan persepsi tersebut bertransformasi menjadi pikiran negatif (negative thinking) dan apabila diteruskan akan menjadi overthinking.
Dilansir dari Psychology Today, overthinking dapat berupa ruminasi (berhubungan dengan masa lalu) dan kekhawatiran berlebih (berhubungan dengan masa depan). Overthinking yang dipelihara dalam jangka waktu lama, dapat memicu stres, tidur yang tidak cukup, kecemasan, dan depresi.
Overthinking dapat dialami oleh siapa pun, termasuk mahasiswa. Misalnya, bagaimana jika tidak bisa menyelesaikan skripsi? Bagaimana jika akan menjadi pengangguran setelah lulus? Bagaimana jika tidak dapat mengerjakan tes TOEFL-IMKA? Dan pertanyaan-pertanyaan lain berkenaan dengan peristiwa yang belum terjadi.
Pasalnya, sebagian dari kita seringkali dengan sengaja menceburkan diri dalam situasi overthinking. Akan tetapi, sebatas berputar-putar pada pertanyaan tanpa berupaya mencari solusi. Jika sudah tenggelam, merasa kesulitan untuk keluar dan kembali berpikir rasional.
Berikut terdapat beberapa cara yang dapat membantu kita terbebas—atau membebaskan diri—dari overthinking:
1. Mencari pengalihan
Overthinking biasa terjadi ketika waktu luang. Untuk menghindarinya, sebaiknya mengisi waktu kosong dengan aktivitas positif. Seperti membaca, menulis, mengerjakan tugas, beres-beres kamar atau rumah, berkebun, mengembangkan hobi, berdiskusi, atau aktivitas lain.
2. Berpikir secara konstruktif
Berpikir konstruktif berarti berpikir secara tersusun dan bersifat membina, memperbaiki, dan membangun.
Berpikir buruk tentang kondisi yang belum tentu terjadi tanpa dibarengi penyelesaian masalah, hanya akan melahirkan kekhawatiran dan kecemasan baru. Memikirkan hal yang sudah lewat juga hanya akan membuang waktu dan energi karena, kita tidak memiliki kuasa untuk mengubah apa yang telah terjadi.
3. Menerima keadaan
Dalam filsafat Stoa, mengajarkan pentingnya menerapkan dikotomi kendali. Ada sesuatu yang berada dalam kendali kita, ada pula yang mutlak tidak dapat dikendalikan.
Hal-hal yang berada di bawah kendali meliputi penilaian, opini, persepsi, keinginan, tujuan, dan tindakan kita. Sedangkan yang berada di luar kendali: takdir, tindakan dan opini orang lain, reputasi, kesehatan, kekayaan, dan bencana alam.
Yang dapat kita lakukan adalah berusaha sebaik mungkin dalam mempersiapkan situasi yang belum terjadi (masa depan), hasil akhirnya sudah di luar kendali kita. Apabila mampu berpikir rasional, kita akan tetap merasa bahagia dan damai jika ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. Karena yang terpenting, kita sudah mengusahakan yang terbaik.
4. Fokus pada pemecahan masalah
Dalam artikel “The Tyranny of Positive Thinking Can Threaten Your Health and Happiness” yang dikutip dari buku Filosofi Teras (2019), menyebutkan bahwa negative thinking sebenarnya diperlukan. Seseorang yang terlalu berpikiran positif cenderung menganggap semua akan baik-baik saja dan tidak perlu dikhawatirkan. Namun, ketika yang terjadi ‘tidak baik’ dia akan kewalahan.
Sedangkan orang yang berpikiran negatif, (seharusnya) dapat memikirkan strategi dalam menghadapi situasi yang akan dihadapi.
Misalnya, seorang mahasiswa yang over positive thinking, yakin bahwa setelah wisuda dia akan mendapat pekerjaan sesuai prodi dengan gaji lumayan tinggi. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan hanya fokus pada kehidupan saat ini.
Sementara itu, mahasiswa yang negative thinking (seharusnya) mulai mempersiapkan, mempelajari, dan menguasai kemampuan yang sekiranya relevan dalam dunia kerja. Seperti desain grafis, public speaking, menulis, komputer, penjualan daring, dll.
5. Ubah overthinking menjadi karya
Rene Descrates mengatakan bahwa, “aku berpikir maka aku ada”. Berangkat dari kalimat tersebut, tidak ada salahnya menjadikan bahan overthinking menjadi karya.
Masih berkaitan dengan poin nomor 4, ketika sudah mendapatkan solusi, kita dapat menuliskannya dalam bentuk artikel. Seperti, “Lima Kemampuan yang Harus Dimiliki Mahasiswa” atau “Hal yang Harus Disiapkan Sebelum Ujian TOEFL-IMKA” atau lainnya.
Selain melegakan pikiran karena telah mendapatkan solusi, secara tidak langsung kita juga telah mengurangi overthinking orang lain yang memiliki sumber kecemasan serupa.
Penulis: Rizkyana Maghfiroh