Sering kita alami, ketika sedang bersama teman-teman dalam momen menentukan pilihan, muncul kata “terserah” dari mulut seseorang. Saat ingin memilih tempat makan misalnya, sebagian orang memilih menggantungkan pilihan kepada orang lain dengan kata “terserah”.
Orang sering mengandalkan kata “terserah” sebagai bentuk penghindaran diri terhadap tanggung jawab untuk memilih sesuatu. Dengan kata “terserah”, seakan ia bisa terlepas dari konsekuensi atas keputusan yang diambil teman-temannya.
Yang jelas, seperti kata Psikolog Pingkan Rumondor, kata “terserah” akan membuat bingung lawan bicara sehingga terdengar menyebalkan.
Jika diibaratkan, saat kita terlibat pembicaraan dengan orang lain dan orang itu hanya mengatakan “terserah”, tentu seakan sedang berbicara dengan tembok. Tidak ada feedback dan terkesan menjadi pembicaraan satu arah saja.
Banyak sebab orang memilih untuk menghindari diri dari andil dalam pengambilan suatu keputusan. Entah karena malas, tidak memiliki pendirian, atau bahkan terlalu takut atas pilihannya sendiri.
Dalam konteks ini, kata “terserah” menjadi simbol pesimisme bahwa orang tidak lagi memiliki kemampuan mengambil keputusan sendiri.
Padahal, jika merunut ungkapan filsuf Prancis Jean Paul Sartre, manusia diciptakan dengan kemampuan mengatur dan menentukan kebebasan dirinya. Orang yang tidak bisa menentukan pilihannya sendiri bukanlah orang yang merdeka atas dirinya.
Terlalu sering bilang “terserah” tidak akan menuntun kita untuk bisa berpikir kritis, saat seseorang mengucapkan kata “terserah”, pasti mereka telah kehilangan minat untuk menanggapi pembicaraan, seolah tidak lagi peduli terhadap apapun. Itu bisa menjadi sebab seseorang bersikap apatis.
Simbol Kekecewaan
Kata “terserah” sendiri memiliki makna yang cukup bias. Selain sebuah ungkapan atas ketidakmauan atau ketidakmampuan diri untuk menentukan pilihan, kata “terserah” juga menjadi ungkapan kekecewaan atas sesuatu yang tidak bisa kita kontrol.
Apakah saat seseorang bilang ”terserah” itu menjadi tanda jika ia sudah benar-benar pasrah dan ikhlas dengan apa yang akan terjadi?
Tentu tidak demikian. Sebab kata-kata seperti ”terserah” atau ”ya sudah” seringkali justru mewakili sikap yang dinamakan pasif-agresif. Psikolog Sosial UGM, Prof. Koentjoro, menilai kata “terserah” itu suatu bentuk ungkapan emosi seseorang.
Seperti pada kasus ketika Covid-19 sedang naik pada pertengahan 2020, tagar Indonesia Terserah sempat tranding. Tagar tersebut menjadi bentuk kekecewaan masyarakat atas kebijakan pemerintah yang tidak serius menanggapi kasus Covid-19.
Dalam kasus tersebut, kata “terserah” digemborkan sebab masyarakat tidak mampu berbuat banyak dalam mengontrol kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pemerintahlah yang memiliki kuasa dalam menentukan kebijakan. Maka, kata terserah sangat terlarang keluar dari mulut pemerintah.
Kata “terserah” mungkin bisa digunakan sesekali jika memang sedang dalam posisi tidak memiliki kapabilitas yang cukup dalam menentukan sikap dan pilihan. Akan tetapi, terserah bukanlah pilihan yang bisa selalu diandalkan.
Apakah kita akan selamanya berada pada posisi tidak bisa menentukan pilihan atas kemauan dan kemampuan diri sendiri dan hidup bergantung pada kemauan dan kemampuan orang lain?
Penulis: Nurul Fitriyanti