Nihil sub sole novum. Tidak ada sesuatu yang benar-benar baru di bawah matahari. Adagium itu seolah mempresentasikan kejahatan korupsi di Indonesia. Tindak laku yang menjangkiti pejabat publik Indonesia bisa ditemukan bahkan di era awal kolonialisme.
Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priyai sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara menuturkan, dalam surat-surat Hogendrop, terungkap korupsi dan suap menyuap telah menggurita, terstruktur, dan masif di VOC.
Hagendrop menjelaskan ia menerima 80 gulden setahun, namun ia dapat menyetor ‘upeti’ ribuan gulden ke gubernur di Semarang, lalu ribuan gulden lagi ke gebernur jendral di Batavia, serta ribuan gulden lagi untuk pejabat tinggi VOC di Belanda. Saat pulang ke Belanda ia kaya raya; memiliki kereta kencana, pengawal dan dapat menikahi putri salah satu kepangeranan kecil di Jerman.
Pada tahun 1799, VOC tumbang karena korupsi besar-besaran para pegawainya. Mereka hidup bermewah-mewahan. Untuk memenuhi gaya hidup seperti itu, akhirnya mereka korupsi. Disini dapat dilihat kesamaan pola, kondisi Indonesia kini dengan periode awal kolonilisme di Nusantara.
Tidak ada yang meragukan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di negeri ini. Selama 14 tahun lebih KPK bekerja, sudah puluhan orang ditangkap melalui operasi tangkap tangan, ratusan kasus korupsi telah ditangani, menjebloskan koruptor ke penjara, dan triliunan uang negara berhasil diselamatkan. Namun ada satu pertanyaan yang perlu dijawab, sampai kapankah KPK terus melakukan kebajikan ini?
Faktanya, kehadiran KPK tidak—belum—mampu memutus akar generasi korupsi. Hal ini disebabkan, ancaman hukuman bagi koruptor tidak begitu ditakuti oleh individu maupan korporat. Sehingga, hukum yang berlaku tidak begitu membantu—dalam jangka panjang—KPK setelah koruptor tertangkap.
Koordinator Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo pernah mengatakan, belum disahkannya RUU Perampasan Aset membuat hukum atas aset koruptor tidak efektif. Aset dari tindak kejahatan korupsi masih bisa bergerak kemana-mana. Koruptor yang berada dalam penjara pun bisa menggerakan kejahatan baru dari asetnya yang tidak dirampas.
Hukuman dalam perampasan aset, pernah dijalankan oleh kerajaan Majapahit. Dalam kitab Kutara Manawa—kitab perundang-undang kerajaan Majapahit pada masa raja Hayam Wuruk—tercantum, ancaman untuk pendusta dan pencuri adalah hukuman mati. Bahkan untuk kasus pencurian raja berhak menyita harta, tanah, istri dan anak milik pencuri.
Inilah yang mendorong keteraturan sosial terjadi di era Hayam Wuruk. Keteraturan sosial itu kemudian menjadi salah satu pendorong terciptanya kesejahteraan. Ketika hal itu terpenuhi kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
Jika pemerintah benar-benar serius dalam pemberantasan korupsi, seharusnya kerangka hukum bagi koruptor, diperkuat. Hukuman yang berlaku bagi koruptor sekarang dinilai tidak membuat jera dan tidak mampu mematikan akar korupsi. Hukum yang tegas akan mengurangi tindak kejahatan korupsi dalam jangka pendek. Dan mematikan akar korupsi dalam jangka panjang.
*Artikel pernah dimuat di Harian Nasional Sinar Indonesia (SIndo) pada tahun 2017