Dia bernama Baiq Nuril Maknun. Seorang ibu tiga anak yang pernah bekerja sebagai Staf Honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Namanya, tak henti menjadi pembahasan hari ini, lantaran hukum yang seharusnya melindunginya malah berbalik arah.
Ya, Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang dihukum enam bulan penjara serta harus membayar denda 500 juta. Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis bersalah kepada Nuril pada 26 September 2018, setelah mengabulkan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). MA memutuskan memenangkan kasasi yang diajukan dan Baiq Nuril bersalah telah melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE karena dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan asusila.
Vonis itu memang masih menjadi perdebatan hingga kini. Rencana eksekusi pada 21 November 2018 ditunda lantaran terjadi perbedaan persepsi keadilan di masyarakat yang terus meluas. Bukan hanya di level lokal, namun sudah dalam skala nasional (Kompas.com 19/11/2018).
Kasus yang menimpa Baiq Nuril bukan yang pertama di negeri ini. Sebelumnya, pada awal Juli 2018, Anindya Joediono juga mengalami kasus yang hampir mirip. Dia dilecehkan. Payu dara kanannya diremas saat terjadi operasi yustisi yang menyasar Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan No. 10, Surabaya, Jawa Timur (tirto.id 23/8/2018).
Anindya mengunggah kronologi intimidasi, tindak kekerasan, dan pelecehan seksual yang menimpa dirinya ke akun facebooknya. Tujuannya untuk mencari keadilan atas perlakuan buruk yang menimpa dirinya. Namun, bukan keadilan yang dia dapat, ia justru dituding melakukan pencemaran nama baik dengan jeratan Pasal 45 ayat (3) juncto 27 ayat (3) UU ITE.
Tentu, hati nurani manusia akan bertanya, bagaimana mungkin perlakuan hukum yang demikian dapat terjadi?
Plato pernah mengatakan, “orang baik tidak memerlukan hukum untuk memerintah agar bertindak penuh dengan tanggung jawab, sementara orang jahat akan selalu menemukan celah di sekitar hukum.”
Kita dapat menerapkan kebijaksanaan tersebut untuk menilai moral masyarakat Indonesia secara umum, bukan hanya pada tataran pemegang kekuasaan. Warga negara, dalam konteks ini, ternyata tak jauh beda dari yang dikatakan oleh Plato. Jika ada kesempatan memanfaatkan hukum untuk kepentingan jahatnya, ia juga akan menggunakannya. Pasal Karet UU ITE memang membuka pintu yang seluas-luas untuk itu.
Dalam bahasa hukum ada yang namanya original intent atau juga disebut originalism. Itu untuk menjelaskan teori hukum tentang interpretasi konstitusional atas konstitusi (wikipedia). Terdapat dua titik tolak yang mengikat originalism, yaitu teks konstitusional dan niat penyusunan dari kontitusi. Dalam konteks pasal karet UU ITE, jika hanya ditafsiri dari teks, tentu penerapannya akan pincang. Originalism dapat dilihat koherensinya setelah penerapan. Jika Undang-Undang tersebut menciptakan ke gaduhan di publik maka ada yang tidak logis dari Undang-Undang tersebut.
Bagaimana pun juga, arus komunikasi dan penyebaran informasi masif dengan adanya jaringan virtual internet, termasuk di dalamnya adalah media sosial. Kita masih begitu menginggat, poin penting revisi UU ITE pada akhir 2016 lalu bermaksud untuk merespon maraknya ujaran kebencian yang berbau SARA. Negara memang harus hadir di sana. Namun, jika kehadirannya hanya untuk golongan atas dan elite penguasa, saya kira ada yang salah dalam bernegara hari ini.
Penulis: M. Iqbal Sukhri