Jatuh cinta merupakan hal lumrah yang dirasakan oleh setiap orang. Ia tidak memandang usia dan status seseorang. Bahkan, filsuf sekalipun pernah merasakan sensasi dalam menjalin asmara. Tak jarang kisah asmara para filsuf tersebut berakhir di pelaminan. Namun, ada juga yang berakhir tragis seperti apa yang dialami oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche.
Filsuf kelahiran jerman yang terkenal dengan “Sang Pembunuh Tuhan” ini, rupanya pernah mengalami kegagalan dalam sebuah ikatan asmara. Bahkan, bisa dibilang ia menjalani kisah yang amat tragis.
Semua itu bermula ketika Nietzsche berada pada masa-masa pengembaraan dan kesepian, usai mengalami masa hidup yang berpindah-pindah. Kehidupannya lebih banyak diwarnai dengan kesuraman dan kesedihan. Di masa inilah, Nietzsche lebih banyak menyendiri dan melupakan tanggung jawab sosial yang membuatnya hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Italia dan Swiss.
Selama masa pengembaraannya, Nietzsche ditemani Elizabeth (saudaranya) Lao Salome dan Paul Ree. Waktu semakin berlalu. Nietzsche tak sadar bahwa ia ternyata mencintai Lao Salome, seorang novelis cantik dan cerdas yang sering dijumpai Nietzsche. Setiap hari, Lao Salome hadir dalam bayang-bayang pikiran Nietzsche. Lao Salome benar-benar membius Nietzsche.
Namun, saat Nietzsche menyatakan cinta pada Lao Salome, ia mendapati kenyataan pahit. Lao Salome tidak memiliki perasaan yang lebih dan spesial selain hanya sebatas pertemanan. Dua kali lamaran Nietzsche ditolak oleh perempuan yang dicintainya itu. Bahkan, di salah satu momen, Lao Salome membuat hati Nietzsche hancur berkeping-keping. Lao Salome bersedia menerima lamaran Nietzsche dengan syarat, Nietzsche mengijinkan dirinya menikah dengan Paul Ree, sahabat Nietzsche sendiri.
Mendengar pernyataan itu, Nietzsche akhirnya memilih untuk gamang; pilihan yang sesungguhnya tepat untuk seorang individualis yang sanggup menguatkan dirinya tanpa pretensi dari pihak luar. Namun, sejak saat itulah kehidupan Nietzsche perlahan mulai berubah. Rasa kehilangan telah membuat Nietzsche produktif dan melahirkan sejumlah karya besar,
Pada 1881 misalnya, Nietzsche berhasil menerbitkan buku Die Morgenrote, Gedanken Uber Die Moralischen Vorurteile (Fajar, Gagasan-gagasan tentang Pra-anggapan Moral). Di tahun berikutnya, 1882, Nietzsche menerbitkan buku Die Frohliche Wissenchsft (La gaya scienza; Ilmu yang Mengasyikkan). Di buku ini juga Nietzsche meproklamasikan bahwa “Tuhan Sudah Mati”.
Sementara, pada 1883-1885, Nietzsche mempersiapkan karya besarnya yang terkenal, yaitu Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra), sebuah buku yang seluruhnya ditulis secara puitis yang kemudian terbit pada 1885. Lalu, setahun berselang, terbitlah buku berjudul Jenseits von Gut und Bose, Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Di Seberang Baik dan Jahat; Pengantar untuk Filsafat Masa Depan) yang kemudian disusul Zur Genealogie der Moral, Eine Streitschrift (Tentang Asal Usul Moral, Suatu Polemik). Di tahun 1888, Nietzsche menulis cukup banyak buku, akan tetapi hanya ada satu buku yang diterbitkan dengan judul Der Fall Wagner; Ein Musikan-ten-Problem (Kasus Wagner; Persoalan Musikus)
Namun, pada tahun 1889, Nietzsche mulai digerogoti penyakit dan sejak saat itulah ia menderita sakit jiwa. Bahkan, saat-saat terakhir hidup Nietzsche sungguh tragis. Dalam dua tahun terakhir masa hidupnya, ia tak dapat mengetahui apa-apa dan tak dapat lagi berpikir secara sehat. Mirisnya, ia pun tak tahu kalau ibunya lebih dulu menghembuskan nafas terakhir dan takt ahu bahwa nama “Nietzsche” sudah mulai masyhur. Nietzsche sendiri wafat pada 25 Agustus 1900, tiga tahun lebih lama dibanding ibunya yang meninggal pada 20 April 1897.
Nietzsche adalah salah satu dari beberapa filsuf yang filsafatnya adalah pengalaman hidupnya. Kita hampir tidak bisa membahas filsafatnya tanpa terlebih dulu tahu bagaimana kisah hidupnya. Kemalangan yang menimpa hidupnya diafirmasi sedemikian rupa, diterima tanpa syarat sebagai aktualisasi pemahaman Amor Fati (mencintai takdir).
Ditolak cinta dan kemudian memilih membujang sampai tutup usia merupakan bentuk amal lahiriah Nietzsche dari filsafatnya ini. Ia sudah cukup untuk menjadi kuat tanpa ada satu pegangan (termasuk cinta) dan sudah cukup tangguh dalam menghadapi dunia;Ubermensch. Nietzsche dalam Zarathustra berkata:
“Lihatlah, aku mengajarkan Ubermensch kepadamu.
Ubermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu Bersatu.
Hendaknya Ubermensch menjadi makna dunia ini.”
Dalam siklus yang sedemikian rupa inilah, Nietzsche menjalani hidup. Jatuh cinta hanyalah sepersekian kesedihan yang diciptakan oleh manusia untuk membuatnya tetap “kuat”. Demi jatuh cinta pula, terkadang manusia mengorbankan keaslian dirinya sendiri.
Bahkan, urgensitas hidup seolah berpusat pada bagaimana seorang mencintai apa yang dicintainya; jatuh cinta yang kadang berakhir pada pemujaan. Seolah-olah, segala realitas bertumpu pada, cinta sebagai pusat dan pegangan.
Di sini, ada hal menarik ketika Nietzsche jatuh cinta. Ia masih bisa bersikap normatif. Ketika ia gagal jatuh cinta, ia juga tidak meninggalkan laku normatif itu. Di hadapan kematian Tuhan, orang ramai-ramai bersikap: ada yang syok, ada yang apatis, ada yang biasa-biasa saja (karena satu fajar telah mati akan tergantikan fajar yang lain).
Begitu juga di hadapan kegagalan cinta, orang adakalanya: syok sampai bunuh diri, adakalanya apatis, adakalanya biasa-biasa saja karena ternyata ia sudah bisa menguatkan dirinya sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain.
Ditolak cinta adalah satu gambaran tragis bagi anak muda. Jika anda pernah merasakannya, mungkin sedikit banyak anda juga bisa memahami Nietzsche. Tapi Nietzsche sendiri menyarankan anda untuk tidak memahaminya. Sebab, jika memang anda benar-benar memahami Nietzsche, bisa jadi anda punya pengalaman tragis yang sekurang-kurangnya mirip dengan Nietzsche.
Saya tidak bisa membayangkan ketika saya berada di posisi Nietzsche; sebab, ternyata saya masih butuh patah hati kesekian kali untuk lebih banyak memproduksi puisi. Tapi, saya tidak akan mematahkan hati saya hanya demi untuk memahami Nietzsche.
Khalil Gibran menulis;
Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya.
Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia.
Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain
dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata ‘Aku turut berbahagia untukmu’
Apabila cinta tidak berhasil.
Bebaskan dirimu.
Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas lagi.
Ingatlah
bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangannya
tapi
ketika cinta itu mati
kamu tidak perlu mati bersamanya.
Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang.
Melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh.
Penulis: Agus Salim