• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
Jumat, 27 Januari 2023
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Ketika Orang-Orang Perkotaan Terjangkit Penyakit Tifus”

Redaksi SKM Amanat by Redaksi SKM Amanat
6 tahun ago
in Artikel
0
Ilustrasi: Doc. Google

Sebuah kota tidak hanya merupakan permukiman khusus, tetapi merupakan suatu kekomplekan yang khusus dan setiap kota menunjukkan perujwudan pribadinya masing-masing,” demikian menurut Arnold Tonybee.

Kota merupakan karya cipta manusia yang paling rumit dengan segala macam bentuk kegiatan masyarakat yang begitu kompleks, setelah mengalami interaksi dengan berbagai masyarakat yang struktur, kelas dan status sosialnya berbeda. Kota selalu identik dengan gedung-gedung yang relatif besar dan padat.

Satu hal yang sangat mencolok dari perkotaan dan masih saya kagumi hingga saat ini adalah, tiang-tiang lampu penerang jalan dan sebuah taman yang melingkar di jantung kota. Sinarnya tetap memberi ruang untuk memecah kegelapan. Oleh sebab itu, ketika seisi kepala mulai dipenuhi keriuhan-keriuhan yang membikin pusing, kepada taman dan lampu semacam itu saya seringkali menikmati keindahannya. Tapi ada beberapa hal yang sangat menjengkelkan dari gaya hidup orang-orang diperkotaan. Pertama, orang kota terbiasa menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (hedonisme) sehingga mereka cenderung konsumtif. Kedua, mereka selalu berpikir bahwa kemajuan adalah sebuah tindakan baik, yang harus selalu digerakkan dengan semangat yang menggebu.

Hanya saja, dari dua contoh di atas, ada kesalahan yang sangat fundamental dengan adanya fenomena tersebut; kita tidak akan pernah berpikir bagaimana cara memproduksi, atau berpikir-ulang mengenai pemahaman tentang ide kemajuan, karena kita sudah merasa puas dengan pemahaman yang sekarang dan merasa berhak melakukan apa saja.

Kemajuan melulu diartikan sebagai deretan gedung-gedung mencakar langit, kampus-kampus beradu bayaran paling tinggi, tempat wisata eksotis dan banyak menghasilkan pundi-pundi uang, tiang-tiang lampu berdiri disepanjag jalan, atau cafe-cafe yang bersedia melayani 24 jam penuh, dan apa yang musti kita sebutkan? Banyak. Tapi ada berapa banyak orang yang sadar dari mana datangnya semua itu? Mari kita jeda sebentar, perlu kiranya kita melakukan perenungan kecil-kecilan sesaat. Sangat sedikit orang yang tahu bila; untuk membangun gedung kita perlu mengeruk gunung; untuk tempat duduk nyaman di cafe, berapa hektar hutan yang harus di tebang. Kita tidak pernah tahu, kerena itu semua dilakukan oleh orang lain, karena kita hanya cukup menukarnya dengan uang agar bisa menikmati.

Baca juga

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

Ngeri-Ngeri Sedap: Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

Bahaya Flexing di Media Sosial

Ibarat tupai, mereka sangatlah lihai melompat dari satu dahan ke dahan lain yang ada di depannya. Melewati sisi-sisi kotor dari kegiatan hedonisme dan konsumtif. Karenanya, mereka selalu melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri demi mendapatkan pembenaran baru untuk kebiasaan buruknya itu.  Tak ada bedanya seperti penguasa yang memakai jabatannya untuk melakukan kerja-kerja kotor. Sebab itulah banyak orang yang memilih tinggal di kota, dan tidak sedikit dari mereka terjangkit penyakit “tifus” (semacam penyakit yang cepat menular) akut. Kemudian efek dari penyakit yang dideritanya itu, mereka lebih suka merendahkan orang-orang disekitarnya karena berbeda gaya hidup dengannya. Dan bisa disimpulkan bahwa; semakin maju sebuah kota, semakin sakit pula (kejiwaan) manusianya. Sungguh mencemaskan, bukan?

Globalisasi, Teknologi dan Kapitalisme

Tak terbantahkan lagi, dalam perkembangan zaman yang sangat pesat, globalisasi dan kecanggihan teknologi berperan besar terhadap bergesernya pola hidup masyarakat di perkotaan, khususnya kota tempat sekarang saya tinggal, semarang. Hal ini terbukti dengan begitu mudahnya dapat kita jumpai tempat-tempat hiburan di kota ini, mulai dari diskotik, cafe, dan tempat-tempat wisata lainnya. Belum lagi kunjungan turis domistik dan manca negara yang  bebas keluar masuk. Hal inilah yang membawa arus pembauran budaya kita dengan budaya asing.

Paling terakhir, yang ingin dan musti saya salahkan adalah kapitalisme; sepertinya, ideologi warisan masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern di eropa (abad ke-14-ke-17) ini sudah mengalir deras dalam darah orang-orang di perkotaan. Mereka sepenuhnya melihat segala sesuatu dalam ukuran harga, dan ia selalu menularkan “penyakit” kepada manusia agar menjadi penanam modal. Sebab dalam sistem yang mereka imani, orang yang mengendalikan modal akan tetap bertahan, dan hidup berkelanjutan. Dan saya tidak tahu, sampai kapan harus menyaksikan orang-orang yang sebegitu mengerikan, dan cenderung hidup individual seperti itu.

Hasan Tarowan
Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam
UIN Walisongo Semarang

  • 0share
  • 0
  • 0
  • 0
  • 0
Previous Post

Prodi PIAUD Lakukan Perkuliahan Seni Rupa di Luar Ruangan

Next Post

Profesor Asal India Pertegas Visi Kesatuan Ilmu di UIN Walisongo

Redaksi SKM Amanat

Redaksi SKM Amanat

Surat Kabar Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Untuk mahasiswa dengan penalaran dan takwa.

Related Posts

cancel culture di media sosial
Artikel

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

by Redaksi SKM Amanat
6 Desember 2022
0

...

Read more
ngeri-ngeri sedap komunikasi anak dan orang tua

Ngeri-Ngeri Sedap: Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

1 Desember 2022
flexing di media sosial

Bahaya Flexing di Media Sosial

13 November 2022
perdebatan di media sosial

Saat Celetukan Ringan di Media Sosial Menjadi Perdebatan Panjang

2 November 2022
cancel culture

Maraknya Tren “Cancel Culture”; Seberapa Parahkah?

31 Oktober 2022

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
Mahasiswa UIN Walisongo kena tipu online

Mahasiswa UIN Walisongo Kena Tipu Online, Rugi 8 Juta Lebih

5 Januari 2023
FISIP UIN Walisongo

Keluarga Mahasiswa Korban Penipuan Berharap Dapat Bantuan Dari Kampus

5 Januari 2023
Wisuda UIN Walisongo

Kantongi Berbagai Respon atas Diundurnya Jadwal Wisuda UIN Walisongo 

20 Januari 2023
Ma’had Al Jami’ah Kampus 2, UIN Walisongo.

Ma’had Online UIN Walisongo Sebagai Syarat Kelulusan MK Bahasa Arab

19 Januari 2023
Load More
Amanat.id

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Ikuti Kami

  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Send this to a friend