kekasih itu bernama ibu
ibu, sebuah pulau kecil yang cantik lagi sunyi. rahimnya adalah sekat tipis antara aku dan dunia dibalik dinding-dinding semesta raya ini, mewakili cinta dan keindahan. kubawa padanya cinta yang meski telah patah-patah, ku berikan semua. tak seiris pun yang sisa.
belum pernah kudapatkan cinta sebegini nyata dan begitu hidup, sebagaimana rahimmu yang mengandung kehidupan. ada banyak orang berani mati untuk cinta. tetapi bila kau bertanya siapa yang berani hidup dan mati untukmu, itu diriku, ibu.
lantaran hanya kaulah kekasih yang mencintai seperti matahari. meluap-luapkan sinarnya untuk tetap menjadi dirinya sendiri. sedang cahaya yang sampai ke bumi, kau menyebutnya sebagai cinta kepada sesama.
sewaktu kecil dulu, ibu yang mengeringkan seragam sekolah dengan sabar. digantungnya baju, celanan, rok, sepatu dan kaos kaki tinggi-tinggi, dijaganya sampai kering. dan akhirnya kita berangkat ke sekolah dengan seragam yang bersih dan harum.
oh! ibu, telah ku pilihkan kata paling sederhana untukmu, yang ku ambil dari setiap kepergian:
“aku akan selalu pulang!”
meski hutang rinduku padamu tak kan mampu ku bayar.
sebab, kau ada sebagai rindu.
sebab, kau ada sebagai rindu.
sudah banyak kusebut nama-nama dalam puisi dan do’a,
tetapi kekasih itu bernama ibu
tak selesai ditulis, tak usai dibaca,
tetapi kekasih itu bernama ibu
tak selesai ditulis, tak usai dibaca,
tapi bisa dikenali.
Semarang, 2017.
HASAN TAROWAN, penyair muda kelahiran Sumenep 13 pebruari 1995. Antologi puisi tunggalnya “orang mabuk di negeri mahapetry” (2016) dan antologi bersama “sajak anak negeri” (2017). Aktif di komunitas Soeket Teki dan pengelola Komunitas sastra Silang Pertemuan Semarang. Pemilik cita-cita sederhana dan sepele: bangun pagi.