Tembok tinggi menjulang mengitari pemukiman padat penduduk nuansa khas metropolitan, menyapa rasa penasaran kami saat memasuki bangunan klenik di Jalan Sekayu Semarang Tengah, Kota Semarang, Kamis (4/5). Aroma buah nanas tercium samar-samar mengikuti gerak laku kami saat memasuki ruangan berukuran 20m x 5m.
Deretan biji kopi dalam toples kaca, dan cangkir blirik menghiasi meja di Kafe Gethe. Kedai kopi yang mengusung konsep pekayon ini memberikan nuansa tradisional dengan harga terjangkau di masyarakat desa dan rasa yang tidak kalah khas dengan kafe klasik lainnya.
Bersama para budayawan, senior, dan antikan, Ari Purbono sang pemilik Kafe Gethe menghabiskan waktu selama tiga bulan untuk mendapatkan nama “Gethe”. Istilah Gethe dipetik dari bahasa prokem semarangan yang populer tahun 70-an yang memiliki arti rene atau kemari.
“Sekayu memiliki potensi besar wisata. orang ke sini bukan hanya sekedar wisata religi ke kampung sekayu, itu sudah tidak zaman,” tutur Ari.
Berdirinya Kafe Gethe memunculkan dinamika baru bagi warga Sekayu. Hal ini dibuktikan dengan waktu baru satu tahun, Kafe Gethe telah mengantongi piagam penghargaan dari galeri 24 berkat rekor pengunjung.
Selama dua pekan berturut-turut, berbagai kalangan masyarakat terus berdatangan tanpa henti di Kafe Gethe. Selain mampir di kafe, berbagai pengunjung juga menyempatkan dirinya untuk menikmati keindahan kampung Sekayu sebelum meninggalkannya.
“Penghargaan ini didapat berdasarkan pengamatan tim galeri 24 bahwa Kafe Gethe ramai pengunjung selama dua pekan,” jelasnya.
Desa kecil penghasil sentral kayu yang semakin dikenal kalangan masyarakat. Pengunjung juga dapat melihat lebih dalam tentang Sekayu, seperti rumah sastrawan Nh. Dini dan Masjid historis Sekayu sebagai peninggalan kerajaan Demak.
Surya Cahyono, salah satu pengurus kampung tematik Sekayu sekaligus ketua RT 05 RW 02 Kelurahan Sekayu menyikapi berbagai masukan yang diberikan berbagai warganya tentang Kafe Gethe.
Dirinya mengatakan bahwa semua hal memiliki dampak baik maupun buruk, sekalipun itu pendirian Kafe Gethe yang letaknya jauh dari hingar bingar kota.
Meskipun demikian, munculnya sebuah kafe di dalam desa membuat warga sekitar bisa meraih hasil positif, mulai dari timbulnya sinergitas, bahkan mampu memanfaatkan peluang yang ada.
“Namanya juga warga desa, pasti ada like and dislike. Semua tergantung mindset masing-masing walau terkadang belum memenuhi semua kepuasan warga,” jelasnya.
Meramu Teh Gethe
Walaupun disebut kafe, Gethe tidak hanya menyajikan kopi, tetapi menyajikan makanan dan minuman khas dengan nama yang unik. Menu di Kafe Gethe disesuaikan dengan lingkungan di sekitar, seperti wedang spesial lawang sewu rempah dan kopi mas wali. Nama ini diambil karena jarak Kafe Gethe yang cukup dekat dengan lawang sewu dan kantor Pemerintah Kota Semarang.
Menu favorit di sini es teh joss dan pisang goreng. Teh buatan Kafe Gethe Semarang seakan memiliki cita rasa yang nikmat jika disandingkan dengan rasa the pada umumnya. Proses merebus teh, dimulai dari menunggu ter-ekstraknya pada suhu 90 derajat celcius dan diakhiri proses pendinginan sekitar 7-10 menit.
Berbagai rangkaian pembuatan yang memakan waktu cukup lama, menjadi pesona tersendiri bagi pelanggan Kafe Gethe Semarang. Pasalnya, walaupun menunggu lama, para pengunjung tetap setia menunggu teh buatan Ari.
“Teh itu ter-ekstrak pada suhu 90 derajat dan hanya mampu bertahan selama 30 menit, setelah itu kami harus membuat ulang agar cita rasa tetap terjaga. Sedangkan pendinginan dilakukan supaya tidak anyang-anyangan seperti filosofi orang jawa,” ucap pemilik Kafe Gethe tersebut.
Siska Salsabila, pengunjung yang sudah empat kali datang menikmati menu dan suasana di Kafe Gethe Semarang merasa nyaman dengan ketenangan tempat dan harga yang ditawarkan.
“Saya sudah empat kali datang ke sini, yang membuat tertarik untuk datang ke sini karena tempatnya unik dan makanannya yang enak,” ucap Siska, Minggu (18/6).
Berbicara tentang suasana di Kafe Gethe Semarang, Mahasiswa Sastra Perancis Universitas Negeri Semarang Gracela Nincy, pecinta suasana tentram di tengah kebisingan zaman yang industrial merasa senang dengan suasana tradisonal yang diberikan oleh Kafe Gethe.
“First time ke sini suasananya tentram, enak. Zaman sekarang kafe itu kan industrial banget ya, tapi ini beda, vibes-nya seperti tradisional, nusantara, pribumi,” katanya.
Reporter: Riska Ayu Maharani