
Lembaran demi lembaran itu telah dilewati oleh dua pasang bola mata yang berseri. Menyimpan berbagai tanya yang mungkin hanya bisa dijelaskan dalam benak masing-masing.
Isi kepala mereka saling beradu, tapi tanpa sepatah kata pun keluar dari dua bibir yang bahkan setiap malam bisa bersatu dan menari-nari indah di dalam bilik. Saksinya hanya lampu lima watt yang berpendar remang.
Potret bahagia masih tampak dalam raut mereka. Tidak ada rasa ragu atau bahkan malu. Tiga bulan mengarungi bahtera rumah tangga tentu sedang dalam keadaan hangat-hangatnya. Merencanakan masa depan dengan penuh harap akan gemilang dan berjalan dengan indah.
Sejauh ini, pikiran mereka masih bisa untuk disatukan, masing-masging pendapat masih mampu untuk dikondisikan.
Pasangan itu sedang melihat gambaran kenangan masa lalu, yang masih tersimpan dalam lembar album foto. Mereka kembali menerka, cukup geli ketika kembali mengingat awal pertemuan.
***
“Oper bolanya!”
“Semangat, woy!”
“Gitu tok? Pasti kalah!”
Riuh sorak-sorai semakin menjadi-jadi. Tanah lapang itu telah dipenuhi remaja berseragam biru putih. Dengan tinggi semampai, kulit kecokelatan dan iris mata hitam pekat. Rambutnya tersibak, kadang terbang tak beraturan. Ia seperti bintang di lapangan.
“Terlalu cari muka,” ucap Aya seketika.
“Siapa, Yak?” Lia menyahut bersamaan dengan dahinya yang berkerut.
Keramaian tidak mampu menghibur Aya. Si gadis kembang desa yang cantik, pandai, dan dari keluarga terpandang.
Penonton kian girang ketika bola itu terpental setelah ditendang oleh Galuh hingga membobol benteng pertahanan lawan. Senja sore itu menjadi penutup pertandingan bola. Meski Galuh berhasil, nyatanya skor tetap sama, seri.
Skor seri, salah satu pihak mulai tak terima, pihak lawan memulai pertengkaran. Situasi mulai ricuh, botol-botol bekas berterbangan. Beberapa orang mulai berdesakan memenuhi lapangan.
Aya yang berdiri di barisan paling depan, mulai terhuyung dan jatuh tertabrak seseorang.
“Darah!” ujar Galuh penuh cemas tatkala melihat kaki Aya.
Tak sempat Aya menjawab, badannya sudah tersungkur tak bertenaga.
*
Ruangan putih penuh obat itu kini ramai dengan beberapa pemain sepak bola. Galuh cemas menunggu kabar gadis itu. Di saat yang sama, suster keluar berteriak risau meminta pertolongan.
“Tolong, apakah pihak keluarga ada yang membawa mobil? Pasien harus dipindah ke rumah sakit.”
Galuh terpekur, berpikir jika saja ia tidak menabrak gadis itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Sementara dalam ruang itu, Aya terbaring tak berdaya menunggu waktu.
Tak lama kemudian Aya mulai terbangun dan berteriak.
“Kaki aku panas,” rintih Aya merasa kakinnya seperti tidak bisa digerakkan.
Keringat Galuh bercucuran. Dingin dan takut. Tak lama pintu ruangan itu mulai terbuka, gadis yang ditabraknya saat keluar dari lapangan saat mengejar kawannya itu akhirnya keluar ruangan. Aya, gadis itu terduduk tanpa daya.
“Siapa Galuh?” Aya bersuara dari atas kursi roda.
Galuh yang mendengar dan melihat gadis yang ia tabrak mengatakan hal demikian. Tanpa berpikir panjang, perlahan ia mendekati gadis dengan kursi roda itu.
“Maaf, saya yang menabrak saat kericuhan tadi. Saya akan bertanggung jawab,” ucap Galuh dengan tulus.
“Tanggung jawab? Mengganti kakiku? Kautahu kakiku akan sembuh kapan? Kau tahu?!” Aya memekik lantang.
Tubuh yang ambruk di samping lapangan itu terinjak oleh kaki-kaki yang lain. Kepalanya membentur keras paving. Akibatnya, saraf pada otak mengalami gangguan. Tidak parah, kelumpuhan itu akan sembuh jika mengikuti terapi jalan.
Aya masuk mobil besar dan mengkilap. Galuh duduk lemas, memikirkan pertanyaan yang gadis itu berikan. Hilang sudah angan-angannya.
Apa yang akan dilakukannya? Mengganti kaki? Apa mungkin itu bisa? Jikapun bisa, apakah dia mau? Namun, kata-kata tanggung jawab itu selalu terngiang dalam benaknya. Tidak Mungkin!
*
“Galuh belikan nasi goreng,” pinta Aya.
“Oke, Puan Putri.” Galuh manururti permintaan Aya.
Galuh berusaha sebisa mungkin tidak menampakkan raut aslinya. Ia merasa diperlakukan sebagai kacung, tapi tak punya pilihan lain, daripada harus mengganti kaki Aya. Uang dari mana? Lagipula, dengan merawat Aya, Galuh bisa mendapat kesemppatan lebih banyak untuk bertemu dengan dia.
Dia. Sosok yang belakangan mulai dekat, tetapi tidak sedekat kaki kiri dan kanan. Senandung lirih suara yang cukup merdu terngiang di telinga. Suara itu kian terdengar jelas, bukan lagi samar.
Rambut pendek yang tergerai dan baju hitam serta rok selutut. Gadis itu duduk di ruang tamu rumah.
“Aya ada?” tanya gadis itu cukup kaget ketika melihat cara Galuh menatapnya.
“Suaramu bagus.”
Galuh melihat kembali paras cantik yang ia temui. Ia, kembali jatuh cinta pada pandangan pertamanya itu. Lia.
*
Aya merasakan bahagia, bunga-bunga dalam hati Aya semakin mekar. Aya menyukai Galuh. Bukan karena kebetulan Galuh menjadi selalu bersama Aya, ia sudah merencanakan sejak lama.
Memalsukan penyakit lumpuhnya, agar terdengar parah dan membuat Galuh takut.
‘Recanaku telah berhasil, sekarang aku harus menyusun strategi lagi untuk terus bersama Galuh. Kalau bisa sampai menikah,” ucap Aya bergumam dengan senyum sinis penuh kemenangan.
“Simpan dompetku di tasmu ya!”
Galuh mengangguk tanpa penolakan.
“Temanmu cantik. Kenapa kamu tidak mengenalkannya padaku? Aku pikir aku juga bisa bersahabat dengannya.” ucap Galuh.
“Lia?” tanya Aya.
Galuh tersenyum. Namun, raut wajah Aya berubah datar. Galuh tidak mengetahui, isi dompet Aya adalah bencana untuk masa depannya nanti. Bencana untuk terlibat menjadi kacung seumur hidup. Benar, Aya mencoba untuk meluluhkan hati Galuh, dengan cara yang salah.
***
Dingin semakin menusuk malam. Tiga bulan hidup bersama, kemesraan dan kenyamanan itu selalu tumbuh subur, layaknya rumput yang tak disirami, tapi mampu menjulang tinggi.
Usai Aya menutup lembar foto terakhir dan cerita itu usai, Galuh memandangnya datar.
“Maaf. Aku terlalu mencintaimu.” ucap Aya.
“Aku pulangkan kamu sekarang. Makan saja jimatmu!” Galuh kesulitan menahan amarahnya.
“Tidak bisa. Aku Hamil.”
Semarang, Mei 2022
Penulis: Erlita Mirdza S. (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)