• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
Rabu, 29 Maret 2023
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Kacung

Ia merasa diperlakukan sebagai kacung, tapi tak punya pilihan lain, daripada harus mengganti kaki Aya.

Erlita Mirdza Septyasningrum by Erlita Mirdza Septyasningrum
8 bulan ago
in Cerpen, Sastra
0
Ia merasa diperlakukan sebagai kacung, tapi tak punya pilihan lain, daripada harus mengganti kaki Aya.
Ilustrasi album kenangan. (Sumber: Pixabay)

Lembaran demi lembaran itu telah dilewati oleh dua pasang bola mata yang berseri. Menyimpan berbagai tanya yang mungkin hanya bisa dijelaskan dalam benak masing-masing.

Isi kepala mereka saling beradu, tapi tanpa sepatah kata pun keluar dari dua bibir yang bahkan setiap malam bisa bersatu dan menari-nari indah di dalam bilik. Saksinya hanya lampu lima watt yang berpendar remang.

Potret bahagia masih tampak dalam raut mereka. Tidak ada rasa ragu atau bahkan malu. Tiga bulan mengarungi bahtera rumah tangga tentu sedang dalam keadaan hangat-hangatnya. Merencanakan masa depan dengan penuh harap akan gemilang dan berjalan dengan indah.

Sejauh ini, pikiran mereka masih bisa untuk disatukan, masing-masging pendapat masih mampu untuk dikondisikan.

Pasangan itu sedang melihat gambaran kenangan masa lalu, yang masih tersimpan dalam lembar album foto. Mereka kembali menerka, cukup geli ketika kembali mengingat awal pertemuan.

Baca juga

Jika itu Puisi

Layu

Belenggu Risau

***

“Oper bolanya!”

“Semangat, woy!”

“Gitu tok? Pasti kalah!”

Riuh sorak-sorai semakin menjadi-jadi. Tanah lapang itu telah dipenuhi remaja berseragam biru putih. Dengan tinggi semampai, kulit kecokelatan dan iris mata hitam pekat. Rambutnya tersibak, kadang terbang tak beraturan. Ia seperti bintang di lapangan.

“Terlalu cari muka,” ucap Aya seketika.

“Siapa, Yak?” Lia menyahut bersamaan dengan dahinya yang berkerut.

Keramaian tidak mampu menghibur Aya. Si gadis kembang desa yang cantik, pandai, dan dari keluarga terpandang.

Penonton kian girang ketika bola itu terpental setelah ditendang oleh Galuh hingga membobol benteng pertahanan lawan. Senja sore itu menjadi penutup pertandingan bola. Meski Galuh berhasil, nyatanya skor tetap sama, seri.

Skor seri, salah satu pihak mulai tak terima, pihak lawan memulai pertengkaran. Situasi mulai ricuh, botol-botol bekas berterbangan. Beberapa orang mulai berdesakan memenuhi lapangan.

Aya yang berdiri di barisan paling depan, mulai terhuyung dan jatuh tertabrak seseorang.

“Darah!” ujar Galuh penuh cemas tatkala melihat kaki Aya.

Tak sempat Aya menjawab, badannya sudah tersungkur tak bertenaga.

*

Ruangan putih penuh obat itu kini ramai dengan beberapa pemain sepak bola. Galuh cemas menunggu kabar gadis itu. Di saat yang sama, suster keluar berteriak risau meminta pertolongan.

“Tolong, apakah pihak keluarga ada yang membawa mobil? Pasien harus dipindah ke rumah sakit.”

Galuh terpekur, berpikir jika saja ia tidak menabrak gadis itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Sementara dalam ruang itu, Aya terbaring tak berdaya menunggu waktu.

Tak lama kemudian Aya mulai terbangun dan berteriak.

“Kaki aku panas,” rintih Aya merasa kakinnya seperti tidak bisa digerakkan.

Keringat Galuh bercucuran. Dingin dan takut. Tak lama pintu ruangan itu mulai terbuka, gadis yang ditabraknya saat keluar dari lapangan saat mengejar kawannya itu akhirnya keluar ruangan. Aya, gadis itu terduduk tanpa daya.

“Siapa Galuh?” Aya bersuara dari atas kursi roda.

Galuh yang mendengar dan melihat gadis yang ia tabrak mengatakan hal demikian. Tanpa berpikir panjang, perlahan ia mendekati gadis dengan kursi roda itu.

“Maaf, saya yang menabrak saat kericuhan tadi. Saya akan bertanggung jawab,” ucap Galuh dengan tulus.

“Tanggung jawab? Mengganti kakiku? Kautahu kakiku akan sembuh kapan? Kau tahu?!” Aya memekik lantang.

Tubuh yang ambruk di samping lapangan itu terinjak oleh kaki-kaki yang lain. Kepalanya membentur keras paving. Akibatnya, saraf pada otak mengalami gangguan. Tidak parah, kelumpuhan itu akan sembuh jika mengikuti terapi jalan.

Aya masuk mobil besar dan mengkilap. Galuh duduk lemas, memikirkan pertanyaan yang gadis itu berikan. Hilang sudah angan-angannya.

Apa yang akan dilakukannya? Mengganti kaki? Apa mungkin itu bisa? Jikapun bisa, apakah dia mau? Namun, kata-kata tanggung jawab itu selalu terngiang dalam benaknya. Tidak Mungkin!

*

“Galuh belikan nasi goreng,” pinta Aya.

“Oke, Puan Putri.” Galuh manururti permintaan Aya.

Galuh berusaha sebisa mungkin tidak menampakkan raut aslinya. Ia merasa diperlakukan sebagai kacung, tapi tak punya pilihan lain, daripada harus mengganti kaki Aya. Uang dari mana? Lagipula, dengan merawat Aya, Galuh bisa mendapat kesemppatan lebih banyak untuk bertemu dengan dia.

Dia. Sosok yang belakangan mulai dekat, tetapi tidak sedekat kaki kiri dan kanan. Senandung lirih suara yang cukup merdu terngiang di telinga. Suara itu kian terdengar jelas, bukan lagi samar.

Rambut pendek yang tergerai dan baju hitam serta rok selutut. Gadis itu duduk di ruang tamu rumah.

“Aya ada?” tanya gadis itu cukup kaget ketika melihat cara Galuh menatapnya.

“Suaramu bagus.”

Galuh melihat kembali paras cantik yang ia temui. Ia, kembali jatuh cinta pada pandangan pertamanya itu. Lia.

*

Aya merasakan bahagia, bunga-bunga dalam hati Aya semakin mekar. Aya menyukai Galuh. Bukan karena kebetulan Galuh menjadi selalu bersama Aya, ia sudah merencanakan sejak lama.

Memalsukan penyakit lumpuhnya, agar terdengar parah dan membuat Galuh takut.

‘Recanaku telah berhasil, sekarang aku harus menyusun strategi lagi untuk terus bersama Galuh. Kalau bisa sampai menikah,” ucap Aya bergumam dengan senyum sinis penuh kemenangan.

“Simpan dompetku di tasmu ya!”

Galuh mengangguk tanpa penolakan.

“Temanmu cantik. Kenapa kamu tidak mengenalkannya padaku? Aku pikir aku juga bisa bersahabat dengannya.” ucap Galuh.

“Lia?” tanya Aya.

Galuh tersenyum. Namun, raut wajah Aya berubah datar. Galuh tidak mengetahui, isi dompet Aya adalah bencana untuk masa depannya nanti. Bencana untuk terlibat menjadi kacung seumur hidup. Benar, Aya mencoba untuk meluluhkan hati Galuh, dengan cara yang salah.

***

Dingin semakin menusuk malam. Tiga bulan hidup bersama, kemesraan dan kenyamanan itu selalu tumbuh subur, layaknya rumput yang tak disirami, tapi mampu menjulang tinggi.

Usai Aya menutup lembar foto terakhir dan cerita itu usai, Galuh memandangnya datar.

“Maaf. Aku terlalu mencintaimu.” ucap Aya.

“Aku pulangkan kamu sekarang. Makan saja jimatmu!” Galuh kesulitan menahan amarahnya.

“Tidak bisa. Aku Hamil.”

 

Semarang, Mei 2022

Penulis: Erlita Mirdza S. (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)

  • 0share
  • 0
  • 0
  • 0
  • 0
Tags: CerpenCerpen kacungcerpen skm amanatcerpen soeket tekikacung
Previous Post

Akhir Tak Bahagia

Next Post

Luqyana: Self Efficacy sebagai Pendukung Prestasi Belajar Mahasiswa Era 5.0.

Erlita Mirdza Septyasningrum

Erlita Mirdza Septyasningrum

Related Posts

Jika itu puisi
Sastra

Jika itu Puisi

by Redaksi SKM Amanat
12 November 2022
0

...

Read more
Ilustrasi Layu. (Pixabay)

Layu

4 September 2022
Ilustrasi Belenggu Risau

Belenggu Risau

27 Agustus 2022
Ilustrasi perjalanan hidup

Nano-Nano Hidup

21 Agustus 2022
Ilustrasi cerpen kisah bersama hujam

[Cerpen] Kisah Bersama Hujan

17 Juli 2022

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
Tarbiyah Expo, UIN Walisongo

FITK UIN Walisongo Kembali Adakan Tarbiyah Expo dan Festival Pendidikan Islam

21 Maret 2023
Nur Syamsudin, UIN Walisongo

Nur Syamsudin; 3 Alasan Pemilu Harus Diadakan

20 Maret 2023
Allison F. McKee dari US Embassy

UIN Walisongo Tanda Tangani MoU Bersama Pihak US Embassy 

6 Maret 2023
Fredy Santoso, Investor Gathering UIN Walisongo

Fredy Santoso Bahas Indikator Ekonomi di Indonesia

13 Maret 2023
Load More
Amanat.id

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Ikuti Kami

  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Send this to a friend