
Amanat.id – Senja menjelang Magrib, menjadi saat yang menegangkan di Gedung Berlian. Lemparan botol, kayu, dan batu berhamburan menyasar apa saja yang berada di belakang pagar Gedung DPRD Jateng itu.
Dalam sekejap, bolam neon, mobil dan sejumlah fasilitas umum yang berada di sana rusak dilempari massa.
Dari kejauhan, sejumlah mahasiswa dengan bendera merah putih, nekat menerobos ke arah belakang pagar. Mereka meminta massa aksi yang berada di luar pagar untuk berhenti melempari.
Namun, isyarat itu tak diindahkan. Massa yang terbakar amarah, sejak demo yang dimulai Pukul 12.00 WIB itu, tak lagi bisa ditenangkan. Permintaan masa aksi bertemu dengan semua wakilnya yang duduk di kursi DPRD Jateng tak membuahkan hasil.
Kapolrestabes Semarang Auliasyah Lubis, yang berdiri di atas mobil komando terus berusaha meredam suasana. Ia terus meminta petugas pengaman untuk tak terpancing emosi.
“Harap demo berlangsung damai. Jangan rusak Kota Semarang yang kita cintai ini,” serunya, Rabu (07/10/2020).
Tak berselang lama, Kapolres mengeluarkan perintah. Water Cannon bergerak. Tembakan gas air mata mengarah ke kerumun massa. Kericuhan pecah.
Sebenarnya, sebelum kericuhan pecah sejumlah massa aksi dari buruh dan mahasiswa telah menarik diri untuk mundur. Massa yang dibawa Dema UIN Walisongo Rubait Burhan Hudaya misalnya. Dalam aksi menolak pengesahan RUU Cipta Kerja itu, Rubait telah berfirasat buruk. Ia mengatakan, sejumlah massa aksi yang tak jelas dari mana tak menghiraukan intruksi dari Korlap.
“Sejumlah demonstran dari UIN sudah menarik diri, dan berkumpul di bawah Patung Kuda Undip. Namun, saat terjadi chaos massa aksi yang terlibat kericuhan berlari ke arah mereka,” kata dia, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (08/10/2020).
Akibat kejadian itu, lanjutnya, sejumlah mahasiswa UIN Walisongo mengalami cedera fisik dan penangkapan oleh polisi yang mengejar massa.
“Beberapa anggota kami terkena lemparan batu. Lalu, delapan orang ditangkap oleh polisi dan menerima kekerasan fisik,” ujarnya.

Represifitas dan Kekerasan Aparat Meluas
Aparat kepolisian yang sudah mendapat intruksi untuk pembubaran massa ternyata tak hanya menyemprot water cannon dan gas air mata. Puluhan personil kepolisian bergerak mengejar dan menyisir seputaran lokasi demonstrasi.
Dalam momen seperti itu, sejumlah demonstran yang ditemui dan dicurigai langsung ditangkap dan dipukuli polisi. Tak jarang kemudian, kejadian salah tanggap seperti yang diterima anggota Dema UIN Walisongo terjadi.
Pengacara Publik LBH Semarang, Etik Oktaviani mengatakan, dalam kericuhan tersebut puluhan mahasiswa, pelajar dan santri ditangkap, dipukul dan diseret-seret secara paksa oleh anggota polisi.
Selain itu, ada satu orang pengacara publik YLBHI-LBH Semarang ditangkap dan dipukul karena mengambil video saat polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap pelajar peserta aksi.
Ia meminta Kapolda Jateng untuk mengusut tuntas kasus kekerasan aparat tersebut.
“Satu orang pengacara publik YLBHI-LBH Semarang mengalami kekerasan hingga kerudung robek akibat ditarik secara paksa oleh anggota polisi,” katanya, seperti dikutip dari Jatengtoday.com.
Etik yang juga tergabung dalam Tim Advokasi Pembela Kebebasan Berpendapat Jawa Tengah mengutuk tindakan polisi yang menangani aksi. Selain itu, pihaknya juga meminta presiden dan DPR untuk bertanggungjawab terhadap kekacauan yang terjadi di masyarakat akibat pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
“Komnas HAM akan turun untuk melakukan investigasi terhadap dugaan kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian RI kepada peserta aksi tolak Omnibus Law di Semarang,” katanya.
Tak hanya demonstran dan aktifis LBH Semarang yang menerima tindak kekerasan aparat. MH, dari pers mahasiswa UIN Walisongo juga mengalami tindakan serupa. Saat menjalankan kerja jurnalistiknya, ia dipukuli sebanyak lima polisi.
“Saya menerima dua kali pukulan area kepala, satu kali di perut, kemudian telapak kaki saya digilas aparat,” ungkapnya.
Padahal, saat itu ia sudah mengaku sebagai pers mahasiswa lengkap dengan kartu identitas di lehernya.
“Mereka tak menghiaraukan yang saya katakan dan menuduh saya bakal mencemarkan nama baik kepolisian. Saya juga dipaksa menghapus foto dan video di kamera,” tandasnya.
Selain itu, DF jurnalis Suara.com juga mendapat perlakuan serupa. Hanya saja nasibnya lebih mujur. Saat dia merekam tindakkan kekerasan aparat kepada demonstran, dirinya diteriaki polisi yang melihat tindakannya.
“Foto dan video dipaksa untuk dihapus,” terangnya.
Kabidhumas Polda Jateng Kombes Pol Iskandar Fitriana Sutisna bergeming dengan tuduhan laporan kekerasan terhadap jurnalis saat demo. Ia mengklaim, aparat kepolisian tidak pernah menghalang-halangi wartawan saat meliput kegiatan apapun.
“Polisi tidak pernah melarang kerja jurnalistik apalagi menghalang-halangi kegiatan peliputan wartawan sepanjang ada identitas wartawan,” sanggahnya.

4 Mahasiswa Masih Ditahan
Atas kericuahan di demo menolak UU Omnibus Law itu, sebanyak 269 demonstran diamankan kepolisian. Usai dilakukan pemeriksaan, wawancara, dan pendataan 76 orang yang diduga bukan provokator langsung dilepas di TKP.
“Dari 269 orang tersebut, kami pulangkan sebanyak 76 orang di TKP. Sisanya, 193 kami lakukan proses pendalaman di Polrestabes,” kata Kasatreskrim Polrestabes Semarang AKBP Benny S saat jumpa pers di Lobby DPRD Jateng. Kamis, (08/10/2020).
Dari pemeriksaan lebih lanjut di Polrestabes Semarang, empat orang ditetapkan sebagai tersangka kerusuhan. Lalu, sebanyak 189 sisanya dilepaskan kepolisian malam itu juga.
“Sejumlah saksi dan barang bukti berupa foto dan video memperlihatkan empat orang itu melakukan pengrusakan,” imbuhnya.
Menurutnya, para terduga tersangka tersebut akan diproses sebagaimana hukum yang berlaku.
“Sangkaan Pasal 170, 187, 212, 216, dan 218 KUHP,” ujarnya.
Saat ditanya mengenai identitas empat mahasiswa tersebut, Benny belum mau mengatakannya.
“Nanti akan kami rilis,” katanya, singkat.
Reporter: Shafril
Editor: SAF