Amanat.id- Selasa (19/9/2023) menjadi momen bahagia bagi Ikhrom (58). Ketua Jurusan (Kajur) S-2 Pendidikan Agama Islam (PAI) tersebut dilantik sebagai Guru Besar Bidang Ilmu PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo di Gedung Prof. TGK. Ismail Yaqub Kampus 3.
Ikhrom kecil terlahir dari keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi. Namun, hal tersebut justru menjadi motivasi tersendiri baginya.
“Saya hidup di tengah keterbatasan ekonomi. Saya masih teringat waktu saya kecil ada orang yang menghampiri ayah saya dan memintanya untuk menyekolahkan saya agar kelak bisa mengubah ekonomi keluarga,” ujar Ikhrom saat diwawancarai tim Amanat.id.
Ketika lulus dari Madrasah Tsanawiyah (MTs), Ikhrom sempat berniat untuk tidak melanjutkan sekolah, tetapi kakeknya melarang.
“Waktu lulus MTs, saya cari kerja dengan membantu pakde macul, tetapi mbah saya tidak tega. Akhirnya, mbah menyuruh saya melanjutkan sekolah di MA Al-Hidayah Kendal dan dibiayai mbah saya,” jelasnya.
Ketika lulus dari MA Al-hidayah, Ikhrom tak berani mengambil ijazah lantaran banyak tagihan yang belum terbayar.
“Setelah lulus MA, saya tidak berani mengambil ijazah karena banyak tunjangan,” tambahnya.
Kala itu, Ikhrom mendapat pertolongan dari Pakde-nya. Ia diperkenankan menjadi Tata Usaha (TU) di MTs Nadlatul Ulama (NU) Palebon, meskipun tanpa ijazah.
“Saya bekerja sebagai TU di MTs NU Palebon dengan gaji 25 ribu per bulan,” tuturnya.
Genap 6 bulan dirinya bekerja, Ikhrom memutuskan untuk resign dan memilih untuk mengaji di Pondok Pesantren An-Nur, Mranggen.
“Setelah berjalan enam bulan, saat itu saya iseng lihat rincian gaji pegawai. Dari situ, saya merasa cita-cita saya tidak akan tercapai apabila tetap berada di sini. Jadi, saya memutuskan untuk keluar,”
“Saya bersikeras ingin mondok di Mranggen mempelajari Kitab Al-Asybah wan Nadhoir tentang metodologi berpikir dan kitab Sarah Ibnu Aqil tentang Nahwu Shorof.” paparnya.
Satu bulan mengkhatamkan ngaji di Ponpes An-Nur, Ikhrom memutuskan pulang tepat pada tanggal 25 Ramadan. Namun, setelah melihat suatu slogan, ia justru mengurungkan niatnya untuk pulang.
“Setelah ngajinya khatam di tanggal 25 Ramadan, saya mau pulang ke rumah, tetapi mata saya tertuju pada warta pesantren yang ber-tagline ‘Jadilah Ulama yang Intelek dan Intelek yang Ulama’. Sekejap saya berpikir bahwa ngaji saja tidak cukup, sehingga langsung terbesit di pikiran saya untuk mendaftar di IAIN Walisongo,” jelasnya.
Perjuangan Guru Besar PAI tersebut terus berlanjut hingga ia menginjak semester 4. Tabungannya habis untuk membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sementara ayahnya tak bisa membantu. Namun, Tuhan kembali menolongnya, Ikhrom lolos beasiswa Supersemar.
“Di semester 4, tabungan saya 150 ribu sudah habis untuk bayar SPP. Akhirnya, saya utang teman. Di semester 5, saya akhirnya pulang dan cerita ke bapak. Bapak saya juga hampir putus asa karena sudah tidak punya apa-apa,”
“Di saat sudah hampir putus asa, saya dikabarkan bahwa saya peringkat 10 besar dan mendapatkan beasiswa Supersemar sampai lulus sarjana.” tuturnya.
Pada kelulusannya, Ikhrom berharap memperoleh predikat lulusan terbaik agar mendapatkan beasiswa menjadi Dosen, tetapi takdir belum menghendaki.
“Waktu saya tahu kalau cuman masuk Runner-up, saya merasa gak jelas mau ke mana. Saya berniat mau ke Brunei, tetapi saya disuruh teman dekat, yang sekarang menjadi istri saya, untuk mendaftar program Pembibitan Dosen,” katanya.
Saat mendaftar, Ikhrom sempat pesimis, tetapi ia selalu mendapat dukungan dan semangat dari sang istri. Kemampuan Ikhrom dalam berbahasa asing cukup meyakinkan istrinya.
“Awalnya, saya sudah pesimis karena yang mendaftar program tersebut pasti hebat-hebat semua, tetapi istri saya selalu meyakinkan saya. Ia percaya sebab saya menguasai bahasa Inggris dan Arab,” tuturnya.
Dukungan dan semangat istrinya membuahkan hasil. Hanya Ikhrom yang lolos seleksi dari 150 pendaftar. Hingga saat ini, Ikhrom selalu yakin dengan dukungan istrinya.
“Istri saya yang memiliki firasat bahwa saya akan menjadi guru besar. Dia yang mendukung dan meyakinkan saya. Dia memang anugerah yang luar biasa,” ucapnya.
Meski menekuni kepenulisan pada usia pra-pensiun, Ikhrom telah menghasilkan banyak karya, mulai dari buku, artikel, hingga jurnal.
“Kalau buku ada lima, yang terakhir tahun 2022. Artikel sekitar dua puluh dan jurnal yang SINTA 2 ada lima, tetapi sebenarnya saya baru benar-benar menekuni menulis di umur 50 tahun,” jelas Ikhrom.
Ikhrom senantiasa berprinsip bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. Ia pun berpesan bahwa kesuksesan adalah pilihan.
“Saya selalu yakin bahwa proses tidak akan mengingkari hasil, bukan sebaliknya. Hasil serahkan saja pada Tuhan. Menua itu kepastian, tetapi kesuksesan itu pilihan,” pungkasnya.
Reporter: Aissya Salsa
Editor: Fathur