Keberadaan media sosial telah menempati posisi penting dalam kehidupan kita. Saat ini, media sosial telah merambah ke berbagai kalangan usia. Baik untuk keperluan bisnis, komunikasi, aktualisasi diri, mencari informasi, sekadar sarana hiburan, atau bahkan sebagai wadah mencari bahan gunjingan.
Sebagian dari kita, menggunakan media sosial sebagai pelarian untuk mengembalikan suasana hati setelah menyelesaikan tugas bertubi-tubi. Dengan harapan, media sosial mampu mengusir penat walau hanya sesaat. Namun, tak dapat dinyana bahwa media sosial tidak selamanya memberikan hiburan.
Menurut riset yang dilakukan oleh Visa Inc (2012), lebih dari 75% generasi milenial mengaku tidak dapat hidup tanpa ponsel dan komputer. Hal ini menyebabkan terjadinya internet addiction atau kecanduan internet, di mana seseorang rela menghabisan banyak waktu untuk berinternet, tidak dapat mengontrol diri saat membuka internet, dan merasa dunia maya lebih menarik dibandingkan kehidupan nyata.
Pada tahun yang sama, penelitian JWTIntelligence (2012) mengemukakan sebanyak 40% pengguna internet mengalami Fear of Missing Out (FoMO). Menurut Abel, Cheryl, dan Sarah (2016) FoMO adalah suatu social anxiety (kecemasan sosial) yang lahir dari kemajuan teknologi, informasi, dan keberadaan media sosial yang semakin meningkat. FoMO dapat muncul akibat terdapat banyaknya opsi kegiatan atau pengalaman yang disertai ketidakpastian mengenai ‘opsi terbaik’ sehingga individu akan menyesal atas pilihannya.
Menurut Przyblylski, Murayana, DeHaan, dan Gladwell (2013), FoMO ditandai dengan keinginan untuk tetap terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui internet (dunia maya). Masih menurut Przyblylski dkk., FoMO berkaitan dengan rendahnya kesejahteraan psikologis seseorang
Seseorang yang kondisi psikisnya sejahtera, akan mamiliki persepsi yang positif dan realistis. Sebaliknya, seseorang dengan tingkah kesejahteraan psikis yang rendah rentan mengalami stres sebagai akibat persepsi tidak realistisnya. Dalam hal ini (FoMO), seseorang akan merasa orang lain selalu memiliki kehidupan yang lebih baik, bahagia, berharga, dan sempurna dibanding dirinya. Ia akan berusaha senantiasa memantau aktivitas ‘pertemanan’ pada media sosial karena tidak ingin ketinggalan informasi dan trend. Ia merasa harus lebih baik atau setidaknya sama dengan orang lain.
Selain itu, seseorang dengan tingkat FoMO tinggi terobsesi mengetahui kegiatan dan kehidupan orang lain melalui media sosial, melihat segala sesuatu dari satu sudut pandang (orang lain akan selalu tampak ‘lebih’), merasa tidak puas dengan hidup, menganggap dunia maya lebih penting dan menarik, serta memiliki kualitas relasi yang rendah baik di dunia nyata maupun maya. Ia akan memeriksa ponsel dan media sosial segera setelah bangun tidur, saat perjalanan, saat belajar, sebelum tidur; setiap saat
Apabila terus berlanjut, ia (individu dengan FoMO yang tinggi) akan kesulitan dalam menguasai lingkungan, menjalin relasi positif dengan orang lain, dan menerima sebagaimana dirinya (Beyens dkk., 2016). Ia cenderung memiliki kemandirian rendah, mudah terpengaruh dan dipengaruhi lingkungan eksternal, mencari penerimaan dan pengakuan dari orang lain, sulit introspeksi dan evaluasi diri, rela melakukan segala cara demi diterima oleh lingkungan sosial, tidak memiliki tujuan hidup, serta tidak memiliki motivasi belajar. Sederhananya, ia akan kehilangan jati diri karena hanya berkaca pada kehidupan orang lain yang bahkan bisa jadi tidak sesuai realita karena hanya mengunggah momen bahagia.
Apa yang dapat dilakukan?
Tak dapat ditampik bahwa FoMO tidak sesederhana konsep kepo dan ikut-ikut orang lain. FoMO lebih serius daripada itu. FoMO dapat mengakibatkan munculnya emosi negatif, meningkatnya stres, kurang tidur karena terlalu memikirkan hal-hal (di media sosial) yang mungkin terlewat, dan dapat mempengaruhi kesehatan fisik. (Milyavskaya dkk., 2018)
Nahasnya, seseorang seringkali tidak menyadari bahwa dirinya dan orang di sekitar mengalami FoMO, sehingga tidak muncul kesadaran dan upaya untuk mengatasinya
Terdapat beberapa teknik yang dapat digubakan untuk mengatasi FoMO:
1. Memahami bahwa setiap individu memiliki kehidupan dan potensinya masing-masing. Kemudian, menyadari bahwa selalu mengikuti apa yang orang lain lakukan hanya akan membuat kita semakin jauh dari self. Dan ya, tidak semua orang akan bersenang hati ketika diusik, dipantau, serta diikuti aktivitas dan pilihan hidupnya.
2. Self Management. Buatlah peta berisi daftar kegiatan yang diurutkan dan diklasifikasikan berdasarkan skala prioritas: (a) mendesak dan penting, (b) mendesak tetapi kurang penting, (c) tidak mendesak tetapi penting, serta (d) tidak penting dan tidak mendesak. Letakkan ‘media sosial’ pada skala d, sehingga kita akan membuka media sosial hanya ketika skala a-c telah tercapai.
3. Mulai kenali diri sendiri. Apa yang disuka, diminati, dikuasai, dan sebaliknya. Coba untuk terbiasa melakukan aktivitas yang sesuai dengan potensi dan kemampuan diri sendiri. Menjadikan orang lain sebagai inspirasi boleh saja, tetapi meniru dan anggapan ‘kita akan bahagia ketika sama persis dengan orang lain’ adalah kesalahan.
4. Ubah mindset, bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup adalah tanggung jawab pribadi; berasal dari internal (persepsi). Asumsi bahwa ‘sikap, opini, dan penerimaan dari orang lain adalah sumber kebahagiaan utama’ adalah tidak rasional.
Filsuf Stoa, Epictetus, menyebut seseorang yang menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain sejatinya adalah seorang budak. Ia terikat atas segala hal yang menjadi milik orang lain.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kutipan kalimat dari buku Filosofi Teras (2019) berikut:
Jika kita hanya bisa merasa bahagia dengan hal-hal yang ada di luar kendali kita, ini sama saja dengan menyerahkan kebahagiaan dan kedamaian hidup kita ke pihak/orang lain. (47)
Sumber sebenar-benarnya dari segala keresahan dan kekhawatiran kita ada di dalam pikiran kita. (89)
Jadi, masih sudi melanggengkan kecemasan dalam diri kita hanya karena ‘merasa’ kita tidak bahagia jika tidak seperti orang lain (di dunia maya)?
Penulis: Rizkiana Maghfiroh