Usai disibukan dengan persiapan mudik. Umat Islam di nusantara masih punya tradisi lain yang harus dipersiapkan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Selain berbagai macam kue, ketupat menjadi makanan yang selalu ada disetiap rumah sebagai hidangan khas pada Hari Raya umat Islam tersebut.
Keberagaman Indonesia menciptakan berbagai macam jenis tradisi tersendiri, misalnya saja ketupat. Ketupat sangat berhubungan dengan proses penyebaran Islam di Jawa, satu kata penuh makna dan filosofi di dalamnya.
Dalam hal penyajian ketupat biasanya orang Jawa menyajikan hanya pada tujuh hari setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri, orang Jawa menyebutnya “Lebaran Ketupat”. Berbeda halnya dengan di Aceh yang tidak mengenal adanya lebaran ketupat, namun tetap menjadikan ketupat hidangan yang wajib ada saat Lebaran.
Selain itu dalam hal penyebutan nama juga terjadi perbedaan, di Jawa orang lebih sering menyebutnya kupat, Makasar menyebutnya katupa’, sedangkan untuk orang Sumatera Barat menyebutnya katupek. Perbedaan penyebutan ini didasari oleh logat (cara bicara) setiap orang masing-masing daerah berbeda.
Akulturasi tradisi
Bagi orang Asia Tenggara makanan serupa ketupat sudah dikenal sebelum Islam datang. Bahkan di Filipina, ketupat sudah tidak asing lagi, mereka menyebutnya bugnoy. Meskipun dalam hal waktu penyajian dan penyebutan nama berbeda tetapi substansi Dari ketupatnya masih sama. Yakni sebuah makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan janur (daun kelapa muda) yang di bentuk anyaman segi empat.
Menurut H.J de Graaf sejak awal abad 15 Masehi, ketupat sudah menjadi simbol Hari Raya umat Islam di Jawa. Sejarah mencatat jika saat itu ketupat masih dianggap sakral oleh mayoritas orang Jawa, lantas Sunan Kalijaga menyelipkan ajaran dengan nilai-nilai Islam kedalamnya.
Hal itu adalah salah satu bentuk cara Sunan Kalijaga menyebarkan Islam di Jawa. Melalui kiasan nama, bentuk, dan bahan dibangun filosofi Islam mengenai ketupat. Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa menyebut paraphrase ketupat berasal dari kata “kupat” yang memiliki arti ngaku lepat atau mengaku bersalah. Tentu hal ini yang selalu kita lakukan ketika Hari Raya Idul Fitri. Saling menebar maaf kemudian memaafkan.
Hati yang kembali fitri
Selain itu ada pula makna yang terselip dalam istilah nama Kupat. Yakni kependekan dari kata laku papat yang artinya empat perilaku. Perilaku yang dimaksud adalah Lebaran, Luberan, Leburan, Laburan.
Lebaran berasal dari kata lebar atau selesai. Maksudnya telah datang Idul Fitri menandakan sudah selesai waktu berpuasa di bulan Ramadan. Kemudian Luberan artinya melimpah. Yaitu sebelum melaksanakan salat ied kita diperintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Selanjutnya meminta maaf dan memberi maaf, sehingga kesalahan yang dimiliki melebur atau habis disebut dengan Leburan. Setelah saling memberi maaf maka hati kembali bersih. Agar tetap dalam keadaan bersih kita harus melakukan Laburan. Yakni berasal dari kata labur atau melabur yang artinya mengoleskan cat kapur. Kapur yang putih menandakan keadaan hati yang bersih.
Lantas pada filosofi bahan yang digunakan pembuatan ketupat yaitu dibungkus oleh Janur. Janur diartikan sebagai sejatining nur atau sejatinya cahaya. Kemudian ada pula yang menyebutkan asal kata janur dari bahasa Arab yaitu ja’a al nur yang artinya telah datang cahaya.
Keduanya mengandung makna yang lekat dengan datangnya hari raya umat muslim. Yaitu Hari Raya Idul Fitri sebagai hari kemenangan mendatangkan cahaya bagi hati masing-masing insan.
Kemudian warna putih beras yang telah matang dalam ketupat diartikan sebagai hati manusia yang putih di hari yang fitri. Tentu saja putihnya hati ini tidak dapat lepas dari usaha selama satu bulan Ramadan untuk menahan hawa nafsu. Kemudian hati disempurnakan bersihnya saat kita saling memaafkan. Bukankah sesuatu yang sangat indah jika kita saling memaafkan di hari yang fitri ini?
Penulis: Iin Endang Wariningsih