
Sejak pertengahan 2022, pembahasan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) kembali menjadi topik yang banyak diperbincangkan setelah viralnya Ragil dan Fredrik Vollert dalam sebuah kanal Youtube. Mereka merupakan pasangan part of LGBT yang tinggal di Jerman.
Dalam berbagai kanal Youtube, mereka secara lugas dan terbuka menyampaikan orientasi seksualnya kepada publik. Hal ini tentu saja memantik respons dari para warganet, apalagi di Indonesia pembahasan terkait orientasi seksual masih dianggap tabu.
Ditambah lagi, semakin banyaknya orang-orang yang mengekspos diri mereka sebagai bagian dari LGBT juga menjadi salah satu pemicu mengapa LGBT makin santer dibahas.
Di Indonesia sendiri, banyak pro dan kontra dalam menanggapi LGBT. Bagi masyarakat, LGBT ini tidak dapat diterima. Mereka dianggap sebagai sebuah penyimpangan dari nilai-nilai agama, norma, budaya serta Undang-Undang terutama UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 di Indonesia.
Dalam agama Islam, Al Quran menjelaskan di surat al-A’raf ayat 80-81 bahwa Allah SWT akan melaknat kaum LGBT. Pemaparan atas larangan LGBT juga tertuang dalam Alkitab, Imama 18:22.
Dalam penelitian tentang LGBT yang dilakukan oleh Lembaga survei Saiful Mujani Research Center (SMRC), menghasilkan bahwa 58,3% warga Indonesia pernah mendengar tentang LGBT dan 41,1% di antaranya menyatakan bahwa LGBT tidak punya hak untuk hidup di Indonesia. Hal ini benar benar membuktikan bahwa LGBT adalah sebuah aib atau hal menjijikkan bagi masyarakat Indonesia.
Lain halnya dengan para aktivis dan komunitas LGBT di Indonesia serta penggerak kesetaraan, salah satunya “GAYa NUSANTARA”. Mereka menginginkan LGBT juga punya hak yang sama tanpa batasan dalam konteks apapun termasuk perkawinan sejenis.
Kelompok LGBT umumnya mengharapkan perlakuan yang seimbang dan adil dari masyarakat dan pemerintah. Mereka ingin orientasi seksual dan perilaku seksualnya tidak menjadi hambatan dalam bermasyarakat, berkarya, berprestasi, dan berkontribusi dalam pembangunan.
Faktor Penyebab LGBT
Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan ilmiah di antara para ahli tentang penyebab seseorang bisa menjadi part of LGBT. Namun, beberapa peneliti menduga ini terjadi karena genetik tertentu ataupun trauma yang pernah dirasakan pada masa lalu yang membuat mereka takut kepada lawan jenis.
Dilansir dalam jurnal kajian oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pusat Penelitian Universitas Indonesia (2015), sebagian dari masyarakat menganggap bahwa LGBT adalah penyakit yang harus disembuhkan agar mereka bisa kembali normal seperti masyarakat pada umumnya, tetapi ada juga yang menolak hal tersebut dan menganggap bahwa LGBT tidak harus disembuhkan karena hal itu bukanlah suatu penyakit dan terdapat suatu faktor biologis atau bawaan sejak lahir.
Keharmonisan keluarga juga menjadi peranan penting. Anak yang lahir dari keluarga yang lingkungannya buruk maka akan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan seseorang menyimpang.
Penanggulangan LGBT
Metode penyembuhan part of LGBT sebagaimana yang disampaikan dosen psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ilmi Amalia adalah dengan konseling yaitu membantunya mengatasi masalah-masalah psikologis yang rumit, dengan harapan kesembuhan mengembalikan kepada orientasi seksual yang benar.
Dengan melakukan konseling, diharapkan mampu untuk memberikan solusi atas permasalahan yang ada. Terlebih lagi, seorang LGBT rentan mengalami perundungan (bullying), pengucilan, dan tindak kekerasan. Beberapa di antaranya juga tidak memahami tentang orientasi seksualnya yang berbeda, sehingga timbul rasa rendah diri.
Selain itu, supaya terhindar dari LGBT upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga pergaulan. Ketika seseorang berteman dengan orang yang termasuk LGBT akan ada kecenderungan dia akan ikut menjadi anggota LGBT.
Keliru jika menganggap bahwa dengan mendukung (pro) LGBT artinya berpikiran terbuka (open minded). Akan tetapi, membencinya tanpa mempertimbangkan faktor genetik, serta menutup mata akan kasus kekerasan dan pelecehan yang bisa terjadi pada LGBT juga tidaklah tepat.
Perihal pro, kontra, atau netral dalam menanggapi fenomena LGBT di Indonesia memang tergantung preferensi masing-masing. Namun, alih-alih mencela tanpa memberikan solusi efektif, akan lebih baik jika turut andil dalam upaya penanggulangan LGBT di Indonesia.
Penulis: Intania Nurul Apriliani Putri