Dalam sebuah ember kosong, teman saya menaruh beberapa kepiting di dalamnya. Namun, tak berselang lama, kepiting itu mulai berebut keluar dari ember. Beberapa kepiting terlihat mencapai permukaan. Di satu sisi, kepiting yang lain berusaha menarik kembali kepiting yang telah mencapai permukaan dan hampir keluar dari ember. Akhirnya, kepiting itu kembali terjatuh.
Apa yang terjadi pada kepiting itu, seolah menjadi gambaran yang menampar realitas sosial kita. Kita tak ubahnya kepiting yang selalu menarik kepiting lain ketika mencapai keberhasilan dalam hidup. Sebagai manusia yang dibekali akal pikiran dan hati, kita justru seringkali terjebak dalam kondisi sosial semacam ini. Disadari atau tidak, kita telah terjerumus dalam sikap saling menjatuhkan.
Munculnya sikap saling menjatuhkan ini, dalam psikologi dikenal sebagai crab mentality. Mengutip jurnal berjudul The Crabs in a Bucket Mentality in Healthcare Personnel: A Phenomenological Study, crab mentality adalah pola perilaku ketika orang berusaha untuk menggerogoti orang lain yang performanya lebih baik daripada mereka.
Karakter mentalitas kepiting bukanlah perilaku tidak biasa yang jarang ditemui di kehidupan sehari-hari. Mentalitas kepiting dapat terjadi ketika lingkungan seseorang tidak mendukung untuk berkembang, baik dalam bentuk menjatuhkan melalui meremehkan, mengkritik di publik, dan memanipulasi.
Orang yang mempunyai mental kepiting selalu merasa dirinya paling hebat, paling pintar, dan paling bisa segala hal. Padahal kenyataannya ada banyak orang yang lebih hebat daripada dirinya di berbagai belahan dunia.
Kita hanya bisa melihat seseorang dari luarnya saja, tapi kita tak tau seberapa besar usaha mereka untuk terus berkembang. Bisa jadi usaha mereka lebih besar dari kita. Maka dari itu, tak perlu ada rasa “paling segalanya”.
Jika kita membiarkan rasa “paling segalanya” menetap dalam diri, maka dikhawatirkan akan sering meremehkan orang lain sehingga hal ini bisa melukai hatinya.
Orang yang mempunyai mental kepiting selalu mencari kesalahan orang lain. Ia merasa hebat dan tak mau ada yang menyaingi, jadi ia mengulik kesalahan orang lain walau sekecil apapun. Padahal ketika dipikirkan matang-matang, mencari kesalahan orang lain adalah hal yang sangat melelahkan dan menghabiskan waktu. Alangkah baiknya jika diganti dengan evaluasi diri.
Parahnya, orang bermental kepiting sulit mengakui kesalahan dirinya. Hal ini lantaran pola pikir mereka telah tertanam bahwa dirinya adalah paling hebat. Menurutnya, orang hebat tidak pernah melakukan kesalahan. Padahal, hidup tanpa kesalahan adalah sebuah kemustahilan.
Penulis: Revina Annisa Fitri