Teman-teman dari kesepian: mereka mencintai kesepian, mereka berkumpul bersama di dalam kesepian, terisolasi dan memuja kesendirian” Jacques Derrida.
Abad informasi digital dan globalisasi telah menghasilkan sebuah generasi masa kini. Sebuah generasi dengan kecintaan pada diri sendiri melebihi kecintaan pada orang lain; keluarga, komunitas, masyarakat, bangsa maupun negara. Ironis memang. Ketika teknologi informasi mampu menciptakan masyarakat jejaring (network society), sebagian dari mereka justru menciptakan generasi yang lebih melihat ke dalam diri mereka sendiri (selfish). Mencintai kekaguman atas diri sendiri dan melampaui kekaguman dari luar diri.
Apalagi, mereka yang menjadi anak zaman dari teknologi informasi dan budaya cyber, membuat generasi yang satu ini menjadi generasi yang suka menyendiri dalam keramaian. Mereka lebih suka merayakan individualisme daripada komunalisme. Inilah yang menyebabkan generasi ini lebih memusatkan perhatian, pandangan, gagasan dan kesenangan yang berasal dari dan untuk dirinya sendiri (narsisisme). Kecintaan dan perayaan pada diri sendiri, menjadikan generasi ini tercabut dari dunia kehidupan sosial, dan bahkan cenderung antisosial.
Ya, itulah Me Generation. Sebuah generasi baru yang lahir dari rahim globalisasi dan milenium baru. Generasi ini adalah anak zaman dari teknologi digital yang kehidupan, nilai, karakter, dan identitas mereka dipengaruhi oleh keberadaan teknologi informasi digital dan masyarakat jejaring.
Tidak saja penampilan diri, bahasa, gestur, perilaku, kebiasaan dan cara pandang yang digunakan terbentuk oleh cara kerja teknologi informasi dan jejaring sosial. Lebih jauh lagi, teknologi itu sendiri telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan pandangan hidup generasi ini.
Generasi yang hidup di era informasi digital yang dilengkapi dengan aneka gawai ini, memiliki karakter, sifat, dan identitas yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Adanya kemajuan teknologi memungkinkan mereka melakukan eksperimentasi identitas dan mengekspresikan diri secara artifisial melalui media sosial.
Sebenarnya, era Me Generation sendiri sudah dimulai sejak 1970-an untuk menjelaskan generasi Baby Boomer yang memiliki kecenderungan narsistik. Namun, Me Generation hari ini digunakan untuk menjelaskan generasi yang dibentuk oleh globalisasi dan abad informasi digital yang dapat disebut sebagai New Form of Me Generation.
Dibanding generasi-generasi sebelumnya, Me Generation hari ini adalah generasi paling melek teknologi, di mana teknologi seakan-akan menjadi bagian tak terpisahkan dalam konsep hidup. Dengan kata lain, kehilangan teknologi akan membuat mereka seolah-olah kehilangan bagian dari integral dirinya. Membayangkan hidup tanpa gawai dan internet adalah pemandangan mengerikan bagi mereka. Barangkali, apa yang ditulis oleh Rebecca Huntley, dalam bukunya The World According to Y: Inside the New Adult Generation benar adanya bahwa, gawai bagi Me Generation menjadi simbol dari diri mereka sendiri.
Pusat perhatian
Me Generation adalah generasi yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian. Dengan segala cara, mereka terus berusaha merebut perhatian publik. Mereka memandang bahwa dunia sebagai panggung di mana dirinya adalah pusat perhatian, yang semua mata diharapkan memandang dengan penuh pujian. Maka, tidak heran jika kemudian mereka cenderung memiliki kesadaran yang tinggi tentang citra diri di ruang publik, dan berlomba memanipulasi citra diri agar sesuai dengan imajinasi yang diharapkan, termasuk merubah penampilan diri.
Bagi Me Generation, penampilan diri di ranah publik mempunyai peran sentral dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai carapun dilakukan agar tubuh selalu tampak memberikan daya pesona bagi yang melihatnya. Belum lagi, hadirnya teknologi pencitraan dapat dengan mudah membangun citra diri artifisial.
Semakin terkenal dan populer seseorang, semakin utama pula orang tersebut berada dalam tatanan nilai Me Generation. Selebritas akan menjadi figur sentral dalam imajinasi-imajinasi sosial dan role model bagi setiap orang yang, dengan segala cara berusaha untuk menjadi bagian dari Me Generation.
Akan tetapi, bila mereka gagal untuk menarik perhatian publik, maka akan merasakan kegagalan atas diri mereka sendiri. Bagi mereka, citra diri adalah segalanya. Citra diri bagaikan sebuah etalase menuju definisi tentang diri itu sendiri. Seperti etalase pada umumnya, diri harus ditampilkan semenarik mungkin, yang dalam banyak hal melampaui diri yang sesungguhnya dalam bentuk hiperrealitas diri. Hiperrealiatas inilah yang menjadi kekuatan mereka, di mana yang dirayakan adalah penampilan kekuatan diri semu, bukan kekuatan diri yang sesungguhnya.
Budaya narsisisme
Kecenderungan narsisisme menciptakan semacam privatisme dalam kehidupan sosial di mana, ada kecenderungan untuk merayakan nilai-nilai pribadi di ranah publik. Dan sebaliknya, kecenderungan ini mengikis nilai-nilai kebaikan bersama di ruang pribadi. Di sini, ada kepentingan pribadi yang mengalahkan kepentingan publik. Nilai indivdualisme telah mengalahkan nilai komunalisme.
Pada tingkat yang paling longgar misalnya, narsisisme mampu mengalahkan tugas-tugas sosial. Maka, tidak heran jika kemudian fenomena narsisisme ini menjadi musuh dalam kehidupan sosial (antisosial).
Dengan menjadikan diri sebagai ‘pusat dunia’, narsisisme adalah bentuk pemujaan diri sendiri, mencari kepuasan diri sendiri dan pengagungan diri sendiri yang mampu melunturkan nilai-nilai komunalitas: cinta, kerjasama, kemitraan, persaudaraan, dan bentuk-bentuk loyalitas lainnya.
Memasuki ranah yang lebih memprihatinkan, terdapat suatu budaya selfie yang menjadi bentuk ‘sempurna’ dalam kecenderungan narsisisme pada Me Generation. Ia menampakkan citra diri menggunakan kecanggihan teknologi yang mutakhir. Dalam The Oxford Dictionaries Word of Year 2013, selfie pada dasarnya adalah potret diri—yang sudah ada sejak tumbuhnya lukisan potret diri—akan tetapi menjadi meluas melalui perkembangan teknologi informasi.
Di satu sisi, istilah selfie telah dipopulerkan di sosial media dan Photosharing, dari Flicker hingga Instagram;sekarang merambah dalam WhatsApp. Di sisi lain, ciri narsisisme pada selfie yang paling kentara adalah bahwa orang memotret bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dibagikan kepada jutaan orang yang ada di media sosial;termasuk juga di dalamnya orang yang menjadi pujaan hatinya.
Selamat ber-selfie ria …
Penulis : Agus Salim I