
Aristoteles mengatakan manusia adalah zoon politicon. Artinya, manusia sebagai makhluk hidup pada dasarnya memiliki kecenderungan bergabung dengan manusia lain, untuk membentuk suatu kelompok atau organisasi.
Tentunya, definisi organisasi tak hanya berpaku soal sekumpulan manusia yang, berorientasi pada satu misi suci yang menampilkan beragam nama sebagai identitas suatu organisasi. Keluarga, masyarakat, kelompok, maupun instansi semuanya mengambil bentuk organisasi tertentu.
Manusia yang dalam perjalanannya tak diselimuti organisasi, bisa dipastikan ia tak akan bisa bertahan lama dan hanya menunggu ‘kematian’. Namun, hidup dalam berorganisasi juga tak selamanya bisa menjamin keberlangsungan hidup di masa depan.
Akan tiba hari di mana ada badai masalah yang perlahan mengambil alih kemudi kehancuran. Begitu juga dengan organisasi yang diidam-idamkan, kini terancam tinggal struktur dan tak lagi memiliki jiwa.
Tanpa jiwa, organisasi bagaikan ikatan yang penuh dengan keterpaksaan. Seolah yang mengikat kita hanya tinggal seperangkat aturan tanpa ikatan emosional yang, semuanya harus dijalani bukan atas dasar rasa cinta organisasi, melainkan kewajiban semata.
Dalam menjalankan roda organisasi—skala kecil maupun besar—orang-orang akan mengalami rasa jenuh. Mulai dari keluarga, kelompok pertemanan, institusi agama, institusi pendidikan, perusahaan, masyarakat, bahkan negara, semuanya tak ada yang bisa mengelak dari keadaan itu.
Rutinitas akan diwarnai rasa jemu. Bahkan, tujuan yang sudah jauh-jauh hari dirancang, tak lebih menawan dari janji manis seorang mulut politisi. Akibatnya organisasi semakin kehilangan jiwa dan tinggal menunggu waktu hingga organisasi tersebut tamat riwayatnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan guna menanggapi fenomena universal semacam ini, kini?
Mengingat dan menimbang
Ketika krisis menghadang, orang perlu kembali ke tujuan awal adanya sesuatu untuk mengingat sedalam mana sumpah serapah yang diucapkan dulu. Begitu pula ketika organisasi dihantam krisis visi dan jiwa, mereka perlu mengingat tujuan awal didirikannya organisasi tersebut.
Organisasi yang terjebak dalam krisis, kiranya perlu untuk melihat gambaran besar dari peristiwa yang saat ini menimpa mereka. Dalam dialektika Hegellian, krisis harus dipandang sebagai momen pencarian dan pembentukan diri organisasi.
Sebab, organisasi itu tidak boleh hanyut pada konflik kecil—yang bisa jadi—amat menyakitkan, dan membuat organisasi kehilangan visi utama. Pengalaman-pengalaman kecil yang amat menyakitkan inilah yang perlu dijadikan titik tolak untuk membenahi visi keseluruhan organisasi.
Kita tahu, saat ini dunia sedang dihantam badai pandemi yang membuat banyak organisasi mengalami stagnasi, akibat krisis visi. Maka, dibutuhkan kemauan mengingat dan sikap reflektif untuk memahami gambaran besar visi organisasi.
Meskipun pimpinan memiliki peran besar, dua hal ini harus dihayati oleh seluruh bagian organisasi. Memang organisasi adalah sebuah kelompok. Namun komponen utama organisasi tetaplah individu.
Perubahan organisasi ini tidak akan muncul tanpa perubahan individu. Pembenahan dalam tubuh organisasi haruslah dimulai dengan pembenahan individu-individu di dalamnya.
Diktum kuno metafisika mengatakan, keseluruhan itu lebih daripada bagian-bagiannya. Artinya, organisasi itu juga lebih daripada orang-orang yang membentuknya.
Impian besar adalah milik bersama, dan bukan hanya milik pimpinan semata. Selanjutnya, perlu upaya ekstra untuk mengingat ini. Tentunya, menuntut peran pimpinan yang visioner pula.
Pimpinan adalah ujung tombak sebuah organisasi. Pimpinan harus mengambil insiatif dan tak terhanyut dalam stagnasi. Pimpinan juga harus mengambil jarak dari situasi agar tak terbenam di dalamnya.
Jika berhasil mengenai sasaran dan tidak keluar dari koridor, perlahan tapi pasti, api yang menjadi esensi dari organisasi bisa kembali berkobar. Organisasi terhindar dari kematian.
Ini perlu menjadi perhatian serius, jika organisasi ingin selamat diterpa badai krisis, dan membangun kembali harapan yang (hampir) terlupakan. Seorang pimpinan kiranya perlu untuk menghayati gaya kepemimpinan semacam ini.
Hanya dengan begitu, sebuah organisasi bisa terhindar dari bom waktu kehancuran diri.
Melupakan
Untuk bisa selamat dari badai krisis, organisasi—selain mengingat—juga perlu yang namanya melupakan. Konflik memang harus dipahami dan dimaknai, tapi tak boleh dibiarkan menghalangi visi secara keseluruhan. Konflik-konflik partikular yang membuat jiwa organisasi terkikis ini, harus segera dilupakan.
Dalam sebuah organisasi, konflik partikular memang seringkali mengganggu kinerja keseluruhan. Individu-individu dalam organisasi belum bisa membuat jurang pemisah antara persoalan privat dengan persoalan bersama.
Akibatnya, banyak keputusan organisasi yang dibuat tidak dengan prinsip yang masuk akal, melainkan atas dasar prinsip suka atau tidak suka. Dan konflik partikular yang terus menerus dipelihara inilah, yang berpotensi merusak kepentingan bersama dan membuat organisasi kehilangan jiwa sejatinya. Maka, pimpinan perlu kiranya mengajak anggota organisasi untuk melupakan yang partikular dan mengingat yang universal.
Di sinilah titik temu antara mengingat dan melupakan yang perlu diketahui dan dipahami untuk keberlanjutan perkembangan organisasi. Dua titik itu, akan menjaga organisasi tetap terjaga di tengah ombang-ambing arus penglupaan dan kehilangan jati diri.
Dua titik itu pulalah, yang dapat menjadi tanggul agar organisasi tak terseret pada ingatan konflik partikular dan kehilangan tujuan sejati.
Menarik untuk dinantikan, akankah “api” organisasi itu akan tetap menyala atau padam di tengah rasa jemu dan tantangan zaman?
Penulis: AS