
Identitas merupakan persoalan sentral dalam perkembangan teknologi dan informasi, khususnya cyberspace dan realitas virtual. Perkembangan teknologi dan informasi telah menciptakan semacam ‘ruang baru’ yang di dalamnya, identitas menjadi sesuatu (yang dapat sepenuhnya) dibuat secara artifisial, diganti, dan diubah tanpa batas, sehingga menciptakan semacam ruang “paradoks identitas”.
Identitas adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ada beragam bentuk identitas yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari ras, agama, suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender. Kita menerima identitas kita dari tempat dan kelompok, di mana kita lahir.
Pemahaman klasik tentang identitas adalah bahwa dalam setiap identitas selalu ada konsistensi, kontinuitas, dan kesamaan. Seperti ada sesuatu yang dipertahankan dari sejarah dan selalu ada yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kini, ketika identitas dapat diciptakan, diganti, dan diubah secara tanpa batas, maka tidak ada lagi konsistensi, kontinuitas, dan kesamaan historis itu. Artinya, tidak ada lagi yang disebut identitas dan inilah yang dinamakan paradoks identitas.
Di sisi lain, struktur cyberspace telah membuka ruang baru yang lebar bagi setiap orang untuk menciptakan secara artifisial konsep tentang diri dan identitas tanpa batas. Setiap orang bisa menjadi siapa pun. Ini artinya semua orang bisa menjadi beberapa orang yang berbeda pada suatu ketika dan memungkinkan seseorang dapat memiliki identitas apa pun. Belum lagi kehadiran cyberspace di tengah tatanan masyarakat membuat problem identitas semakin kompleks; identitas baru, identitas palsu, dan identitas ganda.
Jalan berliku identitas
Persoalan identitas adalah persoalan klasik dalam sejarah filsafat. Identitas menjadi salah satu tema utama dalam penjelajahan filsafat sejak era pemikiran klasik hingga kini. Sebagai bagian dari sejarah, identitas mengalami transformasi secara terus-menerus. Identitas tidak terpancang sebagai sesuatu yang esensial dan primordial, tetapi sebaliknya dapat berkembang di dalam permainan sejarah tanpa akhir. Bahkan, dalam bentuknya yang ekstrem, identitas dapat mengambil bentuk sebagai skizofrenik yang dapat berganti konsep diri tanpa henti.
Perubahan identitas ini berkaitan dengan perubahan sosial, termasuk di antaranya perubahan yang ditimbulkan oleh teknologi. Identitas telah dipandang sebagai sesuatu yang relatif dan terbuka, yang di dalamnya tersedia berbagai kemungkinan kekayaan identitas. Di sini, identitas dilihat sebagai sebuah dinamika yang tak pernah berhenti bergerak mencari bentuknya yang tanpa akhir.
Dalam sebuah masyarakat yang relatif lebih statis, teratur, dan stabil, identitas menjadi sebuah masalah ketika terjadi pengkaburan makna identitas yang kemudian berkembang bentuk menjadi krisis identitas. Krisis ini terjadi akibat perubahan budaya yang begitu masif, sementara masyarakat belum terlalu siap menerima perubahan yang ada.
Namun, dalam masyarakat yang lebih dinamis dan terbuka, persoalan perubahan identitas bisa ditolerir. Akan tetapi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah sampai pada tapal batas manakah perubahan identitas tersebut dapat ditolerir, sehingga tidak mengancam prinsip dan identitas itu sendiri? Lalu, apakah perubahan identitas, dan konsep diri di dalamnya merupakan sesuatu yang terbuka total, tanpa batas, baik dalam bentuk, kuantitas dan intensitasnya?

Seorang filsuf kelahiran Jerman, Jurgen Habermas dalam bukunya Legitimation Crisis melihat ada keterkaitan antara identitas dengan rasionalitas sebagai kemampuan sebuah sistem dalam membangun tindakan berlandaskan argumentasi rasional. Bila rasionalitas tersebut tidak cukup memadai, Habermas menilai hal ini akan memunculkan berbagai krisis, termasuk krisis identitas. Krisis identitas ini muncul ketika sebuah sistem sosial tidak mampu menawarkan gagasan terhadap pemecahan masalah, yang seharusnya tersedia bagi keberlanjutan dan eksistensi dirinya.
Krisis ini terjadi ketika sistem representasi sosial yang ada tak mampu lagi mengamankan identitas-identitas yang ada. Bahkan, menurut Habermas, ancaman-ancaman terhadap keutuhan identitas seringkali disebabkan oleh kelemahan struktural sebuah sistem, khususnya dalam pengendalian nilai-nilai rasionalitas dan normatif, sehingga perubahan identitas menjadi tanpa batas.
(Non)identitas virtual
Perbincangan tentang identitas di dalam cyberspace tidak bisa dilepaskan dari struktur ruang-waktu yang membentuknya. Cyberspace tidak dibentuk oleh ruang-waktu nyata sebagaimana yang terjadi dalam dunia keseharian, melainkan oleh ruang-waktu virtual yang dikonstruksi dalam sistem komputer dan internet.
Dalam dunia cyberspace tersebut, kesadaran manusia bersifat halusinatif. Alfred Schultz dan Thomas Luckmann dalam The Structure of The Life-World membedakan antara dunia kehidupan sehari-hari yang melibatkan kesadaran (Consciousness) dan dunia lain yang melibatkan ketidaksadaran (Unconsciousness). Dunia kehidupan ini diselang-selingi oleh kondisi kesadaran dan ketidaksadaran akan sesuatu. Dalam kesadaran, manusia sadar akan sesuatu (objek-objek) di dunia nyata. Sementara, dalam ketidaksadaran, kesadaran diarahkan bukan pada objek-objek tersebut melainkan pada objek-objek fantasi yang bersifat internal di ruang pikiran.
Cyberspace adalah dunia yang dimasuki manusia dengan kesadaran. Akan tetapi, ia berbeda dengan dunia sehari-hari yang merupakan dunia yang dikonstruksi berdasarkan kesadaran atas objek-objek nyata. Sebaliknya, dunia cyberspace tersusun atas objek-objek tak nyata yang ditangkap melalui pengalaman halusinasi. Dalam hal ini, identitas yang diumbar oleh seseorang dalam dunia cyberspace, tak lain dan tak bukan adalah identitas halusinasi;sebuah identitas yang dibangun secara artifisial.
Dalam artifisialitas cyberspace inilah, penampakan fisik dapat dimanipulasi untuk menciptakan objek dan identitas halusinasi. Di sini, setiap orang dapat secara bebas memilih karakter fisik dan non-fisik sesuai kepentingan. Atribut-atribut ini yang kemudian dapat diubah dan diganti berdasarkan selera orang, agar dapat berinteraksi dengan orang lain dengan cara dan relasi tertentu seperti yang diinginkan.
Cyberspace dan identitas kolektif
Perkembangan cyberspace telah menimbulkan tantangan bagi perumusan ulang berbagai konsep tentang identitas. Pasca memasuki dunia cyberspace, Identitas tidak hanya merupakan persoalan individu (self identity), melainkan juga persoalan sosial. Identitas pada tingkat individu secara bersama-sama dapat membentuk identitas yang lebih besar dan luas cakupannya dalam tingkat identitas kolektif (collective identity). Di sini, ada semacam kepemilikan bersama atas tempat, ruang, teritorial, yang di dalamnya dibangun semacam budaya bersama (common culture) dan imajinasi kolektif dalam membangun apa yang kemudian disebut sebuah masyarakat yang diimajinasikan berdasarkan ikatan fisik yang ada.

Cyberspace telah merenggut setiap orang dari tempat, ruang, dan teritorial fisiknya, dan membawa mereka ke sebuah tempat, ruang, dan territorial baru yang bersifat artifisial yang, di dalamnya setiap orang dapat membentuk komunitas baru (virtual community). Di dalam terirorialitas dan lokasi virtual inilah, komunikasi virtual membangun relasi dan identitas sosial yang serba virtual dan artifisial.
Tentang pembentukan identitas virtual, Howard Rheingold dalam The Virtual Community mengatakan bahwa di dalam cyberspace batas-batas identitas melebur dan mencair, sehingga di dalamnya setiap orang dapat berinteraksi atau berperan menjadi orang lain, atau berperan menjadi beberapa orang yang berbeda pada waktu yang bersamaan.
Pada tingkat komunitas ini, cyberspace menciptakan semacam komunitas terbuka yang disebut Rheingold sebagai komunitas imajiner. Berbeda dengan komunitas dalam pengertiannya yang konvensional, di mana kelompok masyarakat memiliki rasa kebersamaan menyangkut tempat (rumah, desa, kota dsb) yang di dalamnya berlangsung interaksi sosial secara tatap muka, dalam komunitas virtual, apa yang disebut ‘tempat’ memerlukan sebuah imajinasi yang lebih abstrak. Ya, tempat imajiner itu berupa bit-bit dalam komputer. Dalam komunitas virtual yang diimajinasikan tersebut, tidak didukung oleh wujud fisik wilayah atau teritorial secara nyata, melainkan teritorial virtual.
Topeng dan penelanjangan diri merupakan garda terdepan dalam bingkai permainan identitas yang terpampang dalam berbagai manifestasi palsu cyberspace. Dengan menciptakan identitas sendiri, setiap orang berperan dalam menciptakan identitas komunitas dan identitas dunia. Karakter virtual seseorang dan karakter virtual yang dimainkan orang lain pun, ikut bermain dalam kehidupan yang menjadi penyangga kehidupan setiap orang dalam dunia cyberspace.
Sekarang, mari siapkan topeng terbaik untuk mengelabuhi dan menghadapi musuh-musuh virtual anda !!!
Penulis: Agus Salim