Adzan Maghrib masih terdengar sayup ketika Kuncoro memasuki rumah bercat putih keabuan. Lampu ruang tengah yang mati belum diganti sejak tiga hari lepas, menambah suasana muram Kuncoro. Langkahnya gontai penuh amarah, seolah melampiaskan sesak pada lantai yang dingin dan lugu.
Kuncoro terus membawa raganya menuju kamar di ujung belakang. Mengabaikan Hendra dan Lutfi yang sedang menyaksikan pertandingan sepak bola di ruang tengah. Mereka berdua hanya saling pandang, tak berani berkutik. Hendra dan Lutfi tahu betul, bukan saat yang tepat untuk bertanya kepada Kuncoro jika tidak ingin amarahnya semakin meledak.
“Apa terjadi sesuatu dengan Bu Indun ya, Lut? Tapi kok Mas Kuncoro malah ke sini, enggak tunggu keadaan Bu Indun benar-benar baik?” bisik Hendra. Lutfi hanya mengangkat kedua bahu sembari merebut camilan di tangan Hendra.
“Argh!”
“Mas Kun!”
Mendengar suara gaduh dari dapur, Hendra dan Lutfi sontak berlari menghampiri. Tean—teman sekamar Kuncoro—berdiri mematung, berhadapan dengan Kuncoro yang meremas kedua telapak tangannya hingga saluran pembuluh darah menyembul.
“Kenapa, Te?” Lutfi memastikan keadaan.
“Enggak tahu nih, Mas Kuncoro tiba-tiba ambil pisau. Terus digoreskan ke tangannya.”
Mendengar itu, Hendra sontak mendekat dan merebut telapak tangan Kuncoro. Darah bercucuran. Beruntung Kuncoro tidak menggores bagian lengan tangan, sehingga lukanya tidak begitu parah hingga membahayakan nyawanya.
Tiga lelaki itu seketika sibuk berlarian. Ada yang mencari kotak P3K, menutup sementara luka Kuncoro dengan sembarang kain, dan ada pula yang menyiapkan teh hangat. Dan kehebohan mereka justru memantik emosi Kuncoro, memicu rintih dan sesak yang selama ini ia tahan.
Hendra yang baru selesai menalikan kain di tangan Kuncoro dan melihat air mata sudah menggenang di ujung kedua matanya, sontak berhambur memeluknya. “Nangis aja, Mas, enggak usah malu,” ucap Hendra sembari mengusap punggung Kuncoro.
“Apa sih, Cok! Geli!”
“Mas Kuncoro ih, wong dikasih support kok malah cak-cok-cak-cok.” Hendra memberengut kesal, tapi di sisi lain ia senang melihat Kuncoro yang telah kembali ke sifat aslinya. Seperti Kuncoro yang juga diam-diam senang karena memiliki teman yang perhatian. “Nih, minum sendiri! Aku enggak mau bantu pegangin gelasnya, nanti kena semprot lagi.”
Tean dan Lutfi bergeleng pelan, sudah biasa menyaksikan Hendra yang mudah ngambek, serasi dengan Kuncoro yang suka ceplas-ceplos.
“Keadaan Bu Indun bagaimana, Mas? Sudah boleh pulang dari rumah sakit?” Lutfi—sebagai pihak yang bijaksana di antara mereka—mencoba mengulik penyebab aksi nekat Kuncoro.
Kuncoro menghela napas cukup panjang, matanya kembali redup. “Dokter bilang belum ada perkembangan.”
Hening. Ketiga pemuda yang duduk mengelilingi Kuncoro terdiam menunggu penjelasan berikutnya.
“Waktu Kinanti menunggu Ibu di rumah sakit, aku menyempatkan diri mampir ke rumah. Dan di sana aku dengar Bapak telepon sama orang lain … perempuan. Aku udah coba berpikir positif, tapi dari nada dan ucapan Bapak, enggak ada sedikit pun bagian yang bisa buat aku berpikir positif. Bapak selingkuh.”
Air mata merembes dari kedua mata Kuncoro. Tangan kanannya yang tidak terluka, mencengkeram ujung celana Tean—orang yang duduk paling dekat darinya. Punggungnya bergetar. Sangat sunyi, tanpa suara, tapi angin pun tahu seberapa pedih lukanya.
“Bapak bahkan belum pernah menjenguk Ibu, sejak aku pulang. Padahal sudah seminggu lebih.”
Kuncoro terdiam cukup lama. Menyaksikan lintasan peristiwa beberapa hari lalu yang entah bagaimana terlukis dalam karpet lapuk di ruang tengah kontrakan mereka. Saat dia baru saja keluar dari ruang dosen pembimbing dengan wajah kusut dan mendapat telepon dari adiknya. Saat ia menembus padatnya jalan raya tanpa memedulikan nyawa. Saat ia tiba di ruang rawat dan melihat Ibu tergeletak tidak berdaya. Semuanya berputar bergantian dengan suara Bapak saat menelepon perempuan itu.
*
Kuncoro memarkirkan sepeda motornya tidak jauh dari pintu rumah sakit. Agar bisa lekas bergerak jika terjadi atau membutuhkan sesuatu, pikirnya. Dengan berbagai kecamuk dalam kepala, ia menyusuri lantai rumah sakit yang dinginnya hingga menyentuh tulang kaki. Barangkali karena sol sepatunya yang teramat memprihatinkan. Atau memang lantainya begitu dingin lantaran terlalu terlalu banyak menampung air mata dan harapan sia-sia. Ah, barangkali para lantai ini sudah bosan menyaksikan manusia yang hilir mudik sembari menenteng segenggam pilu.
Tak sadar, langkah kaki Kuncoro telah berhenti di depan ruang rawat Ibu. Ia mengurungkan niat untuk masuk ketika pintu terbuka dan adik perempuannya menyembul dengan mata kosong. Sepertinya, adiknya bahkan tak menyadari keberadaan Kuncoro yang berdiri persis di hadapan.
“Kin…” Barulah Kinanti tersadar dan berhambur memeluk Kuncoro. “Kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi?” Tiada jawaban selain sesenggukan. “Kinanti, Mas tanya ke kamu. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Melihat tak ada respons, Kuncoro mencoba memahami gulatan emosi adiknya. Ia membawanya duduk di bangku, membiarkannya menangis.
“Ibu sebenarnya enggak jatuh di kamar mandi, Mas…” Kinanti mengelap ingus dengan ujung lengan bajunya. “Ibu sakit karena Bapak.”
“Sejak kapan?”
“Aku baru sadar sejak Mas Kun merantau. Tapi aku merasa Bapak sudah lama melakukannya, hanya tidak berani karena tahu Mas Kun rela melakukan apapun demi Ibu. Termasuk dengan menentang Bapak sekalipun.”
“Kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu enggak bilang ke Mas?”
“Aku bisa apa, Mas?”
“Kamu masih bertanya? Kalau kamu memang tidak tahu harus berbuat apa, setidaknya kasih tahu aku. Biar aku yang menangani.”
“Ibu menangis di kamarku, Mas. Ibu bilang jangan beri tahu Mas Kun. Ibu enggak mau konsentrasi Mas Kun terganggu karena masalah di rumah.”
“Dan Ibu membiarkan Bapak dengan perempuan itu?”
“Perempuan?” Kinanti mengangkat kepala, melihat wajah kakaknya sudah merah padam.
“Loh, memangnya apa yang kamu bicarakan sejak tadi, Kin?” Mereka baru menyadari jika pembicaraan mereka tidak saling menemukan titik temu.
“Bapak sering memukul Ibu, Mas. Tapi Ibu terlalu baik untuk selalu memaafkan Bapak. Ibu masuk rumah sakit juga setelah bertengkar sama Bapak. Setelah aku dengar Bapak pergi, tidak ada suara apapun dari kamar, padahal biasanya Ibu nangis. Waktu aku lihat, Ibu sudah pingsan. Sepertinya terbentur.”
“Brengsek!”
“Kondisi kesehatan Ibu yang menurun beberapa tahun terakhir, sepertinya juga karena terlalu banyak pikiran, Mas. Karena Bapak. Bapak sering pulang pagi, mabuk, sampai di rumah cuma marah dan membanting barang-barang. Aku sebenernya enggak betah tinggal lama-lama di rumah. Tapi kalau aku pergi, nanti Ibu sama siapa? Bapak pasti bakal lebih keterlaluan.”
Di samping Kinanti, Kuncoro telah merapalkan berbagai sumpah serapah dan kata-kata kasar. Beruntung ia tahu tempat dan bisa mengendalikan temperamennya.
“Mas Kun … apa dan siapa ‘perempuan’ yang Mas Kuncoro maksud?” Kuncoro bergeming. “Apa Bapak selingkuh, Mas?”
Kuncoro masih tetap bungkam. Pikirannya terlalu kacau untuk mencerna keadaan, apalagi menyampaikannya pada adik Kinanti. Melihat kakaknya yang setia pada pendirian, Kinanti memilih untuk tidak mengusiknya dengan pelbagai pertanyaan lagi.
“Ibu aneh ya, Mas? Dia selalu memaafkan Bapak. Aku pernah dengar Ibu curhat ke Bulik. Saat Bulik menyarankan mereka pisah, Ibu malah bilang rela bertahan demi anak-anak. Padahal dengan bertahan, enggak cuma Ibu yang sakit, anak-anaknya juga. Kalau bilang bertahan demi keuangan, lebih enggak masuk akal lagi. Wong selama ini Ibu yang kerja jualan, Bapak kerjaannya cuma ongkang-ongkang.”
*
Semua tertegun mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan Kuncoro.
“Sejak kecil emang aku dan Kinan enggak pernah deket sama bapakku. Walaupun aku enggak ngerti kenapa Bapak jarang di rumah dan sering tegas ke anak-anaknya, tapi aku enggak pernah nyangka dia melakukan hal sebejat itu,” ucap Kuncoro dengan suara parau, tetapi tangisnya mulai reda.
“Aku ke sini mau konsultasi ke dosen wali. Kayaknya aku mau berhenti kuliah saja, mau jaga Ibu dan Kinan.”
“Jangan gila, Mas!” Hendra refleks memekik.
“Coba dipikirkan dulu, Mas.” Lutfi menimpali. “Mas Kuncoro kan sudah semester tua, sudah proses menyusun skripsi juga. Sebentar lagi lulus. Eman-eman, Mas.”
“Gimana aku bisa tenang di sini, apalagi fokus nyusun skripsi, kalau pikiranku di rumah terus?”
“Tapi, Mas … Misal Mas Kuncoro berhenti kuliah, bukannya itu bisa menambah pikiran Bu Indun?” Tean yang sedari tadi masygul mendengarkan, kini ikut bersuara.
“Coba mengajukan cuti dulu, Mas, kalau emang dirasa enggak bisa konsentrasi kuliah. Tapi jangan berhenti…” Perkataan Lutfi disetujui oleh yang lain, termasuk Kuncoro yang tampak mempertimbangkan. “Yah, ini cuma saran dariku sih, Mas. Keputusan tetap ada di tanganmu. Mending Mas Kuncoro pikirkan dulu matang-matang.”
“Terima kasih, Lut. Nanti aku pikirkan lagi.”
Lutfi mengelus pundak Kuncoro pelan. Seketika perasaan hangat menjalar memasuki setiap inchi tubuh Kuncoro.
“Kalian kenapa baik sama aku, sih?”
“Kami kan sayang sama Mas Kuncoro!” jawab Hendra lantang, yang sukses membuat bola mata Kuncoro membelalak nyaris terpental.
“Apa sih, Cok!” Kuncoro bergidik mendengar kalimat Hendra, tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Disusul dengan Hendra, Tean, dan Lutfi yang lega dan berharap masalah Kuncoro lekas selesai.
Dalam kelakar malam itu, satu per satu mencoba menghibur Kuncoro.
Bagi beberapa orang, hiburan memang tidak dibutuhkan dalam keadaan prihatin. Mereka lebih membutuhkan solusi atau setidaknya waktu untuk menenangkan diri. Bagi sebagian orang, mungkin yang dilakukan tiga dari empat sekawan itu tidaklah tepat karena tidak mempersilakan Kuncoro meresapi kesedihannya.
Namun, bagi Kuncoro, mereka adalah rumah kedua. Yang selalu hangat meski sedingin apapun bagai menerpa. Yang selalu erat meski guncangan pertikaian mencoba merenggangkan. Yang selalu saling menguatkan meski harus terseok dan tertatih. Dan Kuncoro bersyukur dipertemukan dengan mereka. Setidaknya, dari mereka Kuncoro percaya bahwa masih ada lelaki yang peduli padanya. Setelah seumur hidupnya hanya dipertontonkan pada sikap tak acuh dari sang ayah.
Ponsel di atas meja berdering nyaring. Menghentikan kelakar dan aksi saling toyor antara Hendra dan Kuncoro berhenti seketika. Suara perempuan terdengar serak dari seberang. Sesaat kemudian ia mengabarkan … Sesaat kemudian ruang kembali dilanda keheningan.
Empat sekawan saling berpelukan. Menguatkan Kuncoro yang kembali kehilangan tawanya.
Penulis: Salsabila Alifia Widuri (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)