Riuh angin bercampur air sedari malam itu hanya menyisakan genangan. Katak dan jangkrik berlarian bersama embun yang perlahan jatuh dari dedaunaan, lalu disambut hangat oleh rumput-rumput di halaman. Dingin yang menusuk. Padahal, aku sudah berselimut. Rasanya dingin ini agak lain. Aku merindukan kehangatan. Tapi bukan hanya hangat secangkir kopi atau selimut tebal. Aku ingin lebih dari itu.
***
Ingatanku kembali mengambang. Melambung jauh pada suamiku, Mas Joko. Aku merindukanmu. Tapi hanya sebatas doa yang bisa aku kirimkan. Bukan opor ayam kesukaanmu. Apalagi ayam kecap kesukaan anak kita. Tuhan lebih mencintaimu ketimbang cintaku.
Sepuluh tahun lebih delapan bulan. Hidup dengan Mas Joko rasanya terlalu singkat. Nama ‘Halimah’ dengan makna perempuan yang lemah lembut, penuh dengan keanggunan yang Mas Joko gambarkan untuk anak sematawayang kita, sekarang ia menjadi gadis yang cantik dan selembut namanya. Tuturnya teramat anggun. Mata Halimah seperti mata Mas Joko. Tapi jangan salah, hidung dan bibirnya sama dengan punyaku. Cantik bukan? Kulitnya kuning langsat, sayang ia jarang menggerai rambut hitam pekatnya itu. Makannya sedikit, tapi badanya tinggi semampai. Setelah usianya 17 tahun, bahkan Halimah lebih tinggi dari pada aku, ibunya sendiri. Halimah juga suka dikuncir kendor.
“Bu, beras dan minyak sudah habis?” tanya Halimah sembari membuka ember beras dan menatap botol minyak yang kira-kira tinggal tujuh tetes.
“Nanti malam ibu ke warung mbak Sari,” jawabku.
“Kasbon lagi?” tanyanya Kembali.
“Dua hari lagi ibu dapat uang dari pak Herman. Bisa nutup kok. Tidak apa,” terangku.
Iya, aku berbohong. Halimah jarang makan, karena memang kita berdua hidup dengan kondisi yang seperti ini. Aku tidak pernah merasa sedih, aku bahagia jika harus hidup seperti ini asalkan bersama Halimah. Gaji dari pak Herman tentu saja kurang untuk melunasi kasbon-kasbon itu. Tapi aku yakin, suatu saat akan aku lunasi semuanya.
“Bu, Halimah pengen kerja,” ucapnya duduk disampingku usai menyodorkan teh.
Kalimat itu masih jelas aku ingat. Buah cintaku dengan mas Joko ini ternyata sudah besar. Kalimat itu terdengar sedikit takut-takut ia ucapkan dihadapanku. Sejujurnya, aku tegang. Halimah bukan lagi anak kecil, tapi ia tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik.
“Kerja apa, Sayang?” tanyaku pelan.
“Halimah pengen kerja di kota. Halimah yakin, kalau kerja di kota ibu tidak perlu lagi bekerja di pak Herman, ibu cukup dirumah saja. Halimah nanti yang akan kirimkan ibu uang untuk segala keperluan,” terangnya penuh keyakinan.
“Bukan soal uang. Lalu ibu dengan siapa? Sendirian?” tanyaku tegas.
“Bu, Sudah saatnya ibu istirahat. Sekarang berikan Halimah kesempatan untuk membahagiakan ibu. Halimah sedih jika ibu harus selalu menahan lapar dengan alasan berpuasa secara terus menerus. Halimah tidak minta apapn selain kesempatan.” Sama kerasnya dengan Mas Joko, tekat anakku ini memang kuat bukan?
“Akan kerja apa kamu dikota? Hanya ijazah SD, apa yang kau harapkan sayang?” tanyaku.
“Setidaknya, aku bisa baca tulis, Bu,” jawabnya kembali.
Aku lelah, aku memilih untuk berpindah ke bilik kamar. Rasanya sudah tidak dapat terbendung lagi bulir-bulir bening yang hampr saja jatuh dipipi tirusku. Hidup sendirian bukan perkara mudah.
Selang lima hari setelahnya, aku antar Halimah ke terminal desa. Aku bawakan dia beberapa makanan dan sedikit uang dari hasil cincin kawinku dengan Mas Joko yang sudah aku gadaikan.
“Jaga dirimu baik-baik nak. Ibu akan selalu mendoakanmu. Hubungi ibu lewat Mbak Sari ya,” ujarku sembari memberinya angka-angka yang berderet rapih diatas potongan kertas.
Hari demi hari setelah kepergian Halimah, rumah terasa sangat sunyi, tidak ada lagi suara tawa dan candaan Halimah yang biasa kudengar setiap hari. Tidak ada lagi seseorang yang menungguku pulang setelah bekerja, tidak ada lagi seseorang yang memijat kakiku saat aku terlalu lelah dalam menjalani pekerjaan.
*
Sampai di kota Halimah menempati kamar kos kecil untuk sekedar berteduh sembari mencari pekerjaan. Berhari-hari ia mencari kesana kemari, bertanya sana sini namun masih tidak ada satu pekerjaan yang ia dapatkan hanya dengan selembar ijazah Sekolah Dasar. Semakin lama menganggur, ia semakin kebingungan. Ia masih belum mendapatkan pekerjaan namun uang di dalam dompetnya sudah semakin tipis. Mungkin hanya cukup untuk hidup beberapa hari kedepan.
Di tengah teriknya matahari siang itu, ia berteduh di sebuah warung kecil di pinggir terminal. Ia sudah mencari pekerjaan apapun disekitar sana namun nihil, tidak ada yang mau menerimanya. Ingin sekali ia menghubungi ibunya. Tapi tidak mungkin, pasti jika belum dapat pekerjaan, ia akan disuruh pulang.
Seorang wanita bertubuh sedikit gempal duduk disebelahnya. Usianya mungkin sudah berkepala tiga. Ia mengenakan dress merah ketat di atas lutut tanpa lengan dengan riasan tebal dan warna lipstick merah menyala serta rambut yang digerai. Sedikit ada ketakutan dalam raut wajah Halimah hingga suara itu memecah hening.
“ Dari mana kak?” tanya wanita itu.
“Dari desa mbak, kesini mau cari pekerjaan” ujar Halimah.
“Wah, sudah dapat pekerjaannya belum kak?” tanya wanita itu antusias.
“Kebetulan belum dapat, Mbak, udah muter kesana kemari belum dapet soalnya saya cuma lulusan SD, Mbak. Susah ya cari kerja di kota,” ujar Halimah yang tanpa disadari oleh Halimah bahwa wanita didepannya ini tersenyum miring mendengar ceritanya.
“Mau kerja sama saya nggak, Kak?” tanya wanita itu
Halimah menatap wanita itu dengan bingung sekaligus senang. “Pekerjaan apa ya, Mbak?”
“Pekerjaannya mudah kok, Kak, bisa dikerjakan kapan aja, dan penghasilannya lumayan banget. Saya yakin Kakak bakal senang sama pekerjaan ini” ujar wanita ini meyakinkan Halimah.
Halimah awalnya ragu, pekerjaan apa yang wanita itu berikan kepadanya terlihat sangat mudah dan menggiurkan, ia semakin penasaran. Namun mengingat uang yang ada di dompetnya, mau tak mau ia menganggukkan kepalanya menerima pekerjaan yang diberikan oleh wanita itu. Ternyata, penampilannya tidak seburuk yang ia kira, wanita itu sopan dan baik.
Malam ini adalah malam ketika Halimah menjalankan pekerjaannya. Setelah diberi beberapa stel pakaian, ia terpukau melihat wajahnya dalam pantulan kaca. Cantik! ini adalah pertama kalinya ia tampil seperti bidadari. Dengan riasan wajah yang tidak terlalu menor, rambut digerai, gaun cantik dengan gemerlap manik-manik menyaingi lampu jalanan.
***
Lima tahun berlalu, lima tahun juga putri cantikku Halimah tidak pulang. Halimah menepati janjinya, ia mengirimiku uang setiap bulan dengan jumlah yang tidak sedikit. Hidupku perlahan mulai berubah. Dari janda miskin yang tidak pernah dianggap keberadaannya oleh orang sekitar, sekarang berkat anakku Halimah aku bisa memperbaiki kehidupanku.
Gubuk kecil ini sekarang menjadi rumah gedong yang enak dan nyaman ditempati. Aku yang tadinya hanya seorang buruh di perkebunan milik pak Herman, kini memiliki usaha toko
kelontong yang lumayan besar sehingga dapat memperkerjakan beberapa orang.
Orang orang sekitar menganggapku sebagai seorang janda kaya. Padahal. Meski banyak harta, aku masih
seperti ini, selalu merasa sunyi.
Hari ini rasa rinduku kepada Halimah sangat tidak terbendung, aku putuskan untuk menemui Halimah di kota. Kututup toko kelontong milikku, menaiki mobil yang dibelikan oleh Halimah aku berangkat ke kota pukul 08.00 bersama Tono, karyawanku. Perjalanan dari desa
ke kota sekitar 6 jam. Aku sampai di kota pukul 14.00. Namun, sebelum menemui Halimah, aku putuskan untuk menemui rekan bisnisku yang ada di kota. Hari sebelumnya kami sudah berjanji untuk bertemu di salah satu tempat makan yang ada di tengah kota.
Saat memasuki tempat makan itu, aku melihat seorang laki laki dengan perempuan yang sedang bergelayut mesra di lengan sang lelaki. aku yakin itu adalah rekan bisnisku namun aku tidak tahu siapa perempuan yang di sampingnya karena mereka membelakangi pintu masuk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.
Aku segera menghampiri kedua insan itu.
Dalam waktu bersamaan, perempuan itu menoleh.
“Halimah?” aku terdiam lama.
***
Bayangan itu selalu muncul, menyisahkan pilu yang masih aku pendam sendirian. Aku merasa gagal menjadi ibu, aku gagal mendidik anak perempuanku satu-satunya, aku tidak lebih dari seorang ibu yang kehilangan kehormatan. Andai memang mas Joko tahu akan hal ini, pasti mas Joko akan teramat kecewa denganku.
Selama ini bukan harta yang aku idamkan, bukan pengakuan dari orang lain tentang kesuksesan aku dan anakku. Ini tentang harga diri dan martabat keluarga. Selama ini, aku makan, aku menikmati harta-harta haram dari anakku. Halimah, Kota telah merubah Gadisku itu menjadi perempuan nakal. Sampai saat ini, aku belum memaafkannya.
Hujan kembali datang, meredam tangis dan kisah tragis ini. Halimah, anakku mati di tangan istri sah Pak Wijaya.
Penulis: Intania Nurul (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)