“Abu di mana kau Abu…. bangsat kau Abu…..”
Seorang lelaki berpenampilan lagak bos menghampiri Abu yang sedang memohon-mohon ampun. Lelaki tersebut sontak mejambak rambut Abu, lalu membantingnya. Abu dengan pakaian kumalnya, dan rambut kribo yang acak-acakan terbanting dan merintih, “ampun tuan, ampun…” Lelaki itu tanpa ampun menginjak kepala abu, menuntaskan siksaannya dan lampu paggung tiba-tiba mati.
Itulah sepenggal pembuka adegan yang menggambarkan begitu melaratnya nasib Abu, sang pemeran utama dalam pentas teater yang diselenggarakan dua hari oleh KSK Wadas, Kamis-Jumat (27-28/6/2019). Pentas yang berlangsung di Auditorium I UIN Walisongo itu, dihadiri oleh ratusan penonton dari berbagai komunitas teater dan mahasiswa di lingkungan UIN Walisogo Semarang.
Naskah garapan Arifin C. Noer bertajuk “Kapai-Kapai” itu mengangkat cerita tentang harapan. Harapan, adalah alasan manusia tetap melanjutkan hidup. Namun, apalah arti harapan, jika tanpa perbuatan. Maka sang sutradara M. Khoirun Nadzif menjadikan “Dunia Milik Mereka yang Ingin Berbuat” sebagai sebagai tema pementasan.
Abu, seorang miskin yang bekerja sebagai buruh pabrik, harus bertarung melawan kerasnya dunia. Ia hidup dalam mimpi-mimpi dan kesengsaraan, bersama Iyem istrinya, keluguan, serta kebodohannya, ditambah sifat malas, menyempurnakan kemelaratannya.
Tentang harapan dan keimanan
Abu yang melarat, bodoh, dan malas itu seperti mendapatkan harapan baru, ketika emak mengabarkan tentang cermin tipu daya. Cermin tipu daya itu akan mengubah hidupnya menjadi bahagia. Cermin itu ada di toko Sulaiman kata Emak, di ujung dunia. Cermin tipu daya menjadikan pangeran dan putri hidup bahagia.
Ke ujung dunia ia cari, ia tanyakan pada pohon, pada semut, pada burung, serta langit di manakah ujung dunia? Semuanya menjawab di sana. Hingga letih ia cari, sampai akhirnya bertemu dengan kakek tua. Ia tanyakan padanya, “di mana ujung dunia, kakek?”.
Bertemu dengan kakek tua, Abu belajar banyak hal. Ia tak tau bahwa dunia tempat ia berpijak, tak memiliki ujung. Ujung dunia, adalah kematiannya. Ujung dunia adalah tempat di mana setelah ia mati. Ujung dunia adalah surga dan neraka. Bagaimana mungkin ia menemukan cermin tipu daya, ketika ia harus mati untuk datang ke sana, pikir abu. Saat bersama kakek tua, dilihatkannya cermin sejati. Cermin yang terbuat dari air danau purbani. Dan lihatnya di sana wajah tua nan begitu miskin, ialah wajahnya sendiri.
Selama ini, Abu adalah rakyat miskin yang bodoh. Bodoh pula agamanya. Apa itu Tuhan? Apa itu neraka? Apa itu surga? Abu tidak begitu paham.
Kakek tua berkata, “Dialah-Tuhan. Yang menciptakan jagad raya.” Kakek tua mejawab neraka adalah api sengsara yang menjilat-jilat, dan surga adalah bahagia di atas bahagia.
Abu heran, bagaimana bisa kakek tua tau di surga ada nabi Sulaiman, dan tentunya cermin tipu daya. Jelas saja, karena memang Abu tak bisa membaca kitab suci, yang segala cerita tentangnya, ada di sana.
Namun si Abu tidak lantas mendengarkan perkataan Kakek, seperti angin lalu, Abu tetap mencari dimana ujung dunia.
Ia menjalani sisa hidup dengan harapan, harapan mendapat cermin tipu daya. Ia ingin bahagia tanpa berbuat dan tanpa memahami agama. Tanpa agama dan perbuatan, harapan adalah khayalan kosong yang diciptakan tokoh emak, bulan, dan yang kelam. Dunia hanya milik mereka yang ingin berbuat. Bukan untuk pengharap yang bahkan tak tahu ujung dunia.
Abu, pada akhirnya mati, tanpa kebahagiaan sejati. Ia tinggalkan istri dalam kesengsaraan.
Kisah berakhir dengan sebuah lagu, “sekiranya adam yang satu ini tidak memiliki apa yang disebut impian.” suatu lirik dari yang kelam kepada Abu, yang telah mati, di pangkuan Iyem.
Penulis: Mohammad Azzam